14

162 44 6
                                    

*****

Kami tiba di rumah Bunda tepat pukul sepuluh malam. Ranu langsung mengajakku masuk ke dalam rumah yang sudah mulai sepi, hanya ada beberapa keluarga saja yang masih ada di sana sedang saling bercengkrama. Kata Ranu tadi, besok mereka juga sudah harus kembali ke kota mereka masing-masing karena rencana awalnya memang seperti itu dan ada pekerjaan yang memang tidak bisa tiba-tiba ambil cuti juga. Jadi kurasa memang keputusan bagus tadi aku ngeyel ikut Ranu ke sini, aku bisa menemani Bunda biar nggak kesepian sendiri. Meskipun ada Rinjani juga sih. Tapi entah kenapa rasanya lebih nyaman saja berada di sini. Entah karena ini rumah yang pernah ditinggali oleh Binar atau karena memang sekarang aku sudah sepenuhnya menjadi bagian dari keluarga ini sebagai istrinya Ranu.

Setibanya di sana, Bunda dan Rinjani langsung menyambutku hangat. Menanyakan kabarku dan kenapa aku harus ikut Ranu. Kata Bunda seharusnya aku nggak usah ikut dan fokus untuk kesembuhanku dulu. Bunda bilang Bunda nggak mau melihat anak-anaknya sakit lagi. Aku merasa terharu Bunda sudah menganggapku sebagai anaknya juga. Meskipun aku tidak jadi menikah dengan Binar, sekarang statusku adalah istrinya Ranu. Kalau dipikir-pikir mungkin sudah menjadi takdirku untuk menjadi menantu di keluarga ini. Tidak jadi menikah dengan adiknya, aku justru menikah dengan kakaknya. Kadang takdir memang selucu itu. Kita tidak tahu dengan siapa kita berjodoh. Kita juga tidak tahu dengan siapa Tuhan menjodohkan kita. Ketika jodoh tak bisa memilih ya mau bagaimana lagi. Kita juga hanya bisa pasrah menerima.

"Duduk, Ru."

Aku mendongak menatap Ranu yang berdiri menjulang di sebelahku. Tangannya masih setia berada di pinggangku dan membimbingku duduk di satu-satunya sofa yang masih tersisa setelah Rinjani beranjak dari sana tadi.

Untuk pertama kalinya aku ikut berkumpul bersama keluarga besar mereka dan berkesempatan untuk bisa mengenal mereka lebih dekat, meskipun sekarang sudah tidak lengkap. Bukan karena aku tidak pernah diajak oleh Binar untuk bertemu keluarganya, hanya saja hubunganku dengan Binar dulu tak selama itu. Hanya enam bulan sebelum kita memutuskan untuk maju ke jenjang pernikahan. Kami hanya belum ada kesempatan saja untuk saling bertemu.

Pun dengan begitu aku langsung duduk di sofa itu. Ranu ikut duduk di lengan sofa di sebelahku, tangannya berpindah ke pundakku seperti seorang suami yang begitu protektif terhadap istrinya. Aku merasa risih. Apa yang Ranu lakukan sekarang bisa dibilang terlalu intim untuk ukuran pasangan yang menikah karena keterpaksaan. Tapi aku juga tak bisa menyuruh Ranu pergi dari sana, melepaskan tangannya dan duduk di tempat lain. Aku tidak ingin orang-orang menganggapku aneh. Meski sekarang apa yang Ranu lakukan juga cukup aneh. Dan yang paling anehnya lagi, mereka --keluarga Ranu maksudnya seolah menganggap sikap Ranu adalah hal yang wajar dan sudah biasa.

Di sebelahku Ranu asyik mengobrol dengan sepupu-sepupunya yang berjumlah empat orang. Tiga laki-laki dan satu perempuan. Mereka membahas tentang pertandingan bola dan MMA. Aku yang tidak tahu menahu tentang olahraga itu hanya bisa diam saja menyimak obrolan mereka seperti orang bodoh. Tahu begini mending tadi ikut Bunda dan Rinjani saja ke dalam dari pada plola-plolo di sini seperti ini.

"Arunika, ya?"

Kami semua menoleh ke sumber suara. Dari depan kamar tamu yang ada di sebelah tangga ada seorang pria paruh baya yang aku kenal bernama Om Arya sedang berjalan menuju ke sini. Setahuku dia adiknya ayahnya Ranu karena dulu kami pernah bertemu.

"Iya, Om."

Aku lantas berdiri dan bersalaman dengannya. Om Arya mengambil duduk di antara keponakannya.

"Bagaimana kabarmu? Kok sudah ikut ke sini saja," tanyanya.

"Baik, Om. Alhamdulillah, sudah mendingan."

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang