25

167 42 2
                                    

*****

Ada banyak sekali gerakan-gerakan yoga yang kuketahui. Contohnya seperti Balasana atau sering disebut child pose. Setu Bandha Sarvangasana atau jembatan pose. Garudasana, eagle pose. Savasana, pose mayat. Uttasana dan Viparita Karani dan masih banyak lagi. Dan nama-nama gerakan yang baru saja kusebutkan itu tadi adalah untuk melatih ketenangan jiwa dan raga. Untuk penghilang stres dan depresi juga.

Bahkan aku juga sudah memperagakan semua gerakan-gerakan tadi beberapa waktu lalu, tapi tetap saja pikiranku masih belum bisa tenang. Padahal sekarang aku sendiri masih dalam gerakan Headstand di mana posisi kepalaku ada dibawah ditumpu dengan kedua lenganku, sedangkan kakiku berada di atas.

Tujuanku memeragakan gerakan ini bukan untuk mengajar kelas Yoga, karena kelasku sudah selesai lima belas menit lalu. Tapi karena aku sedang membutuhkan ketenangan pikiran. Pikiran yang seharian ini penuh dengan Ranu.

Aku hanya berharap semoga telinganya tidak berdengung seharian ini, karena apapun yang kulakukan hari ini rasanya selalu ada wajah Ranu di mana-mana.

Yah, ini semua terjadi bukan tanpa alasan, sih. Ini semua terjadi gara-gara semalam, setelah insiden ciuman tanpa drama itu usai, Ranu memintaku agar mempertimbangkan untuk sekamar dengannya lagi. Dan betapa bodohnya aku yang langsung menyanggupi permintaannya kala itu, hanya karena merasa apa yang dikatakan Ranu kala itu masuk akal, yaitu agar aku bisa menghadapi ketakutanku, dan sebagai bentuk tindakan jika aku mulai menerima Ranu seutuhnya.

Bagaimanapun dua hal itulah yang ingin aku lakukan sekarang, jadi itulah alasanku mengiyakan permintaan Ranu. Dan setelah terjadi perdebatan yang sedikit alotakhirnya diputuskan mulai malam ini aku akan sekamar dengan Ranu dan tidur seranjang dengannya.

Aku tahu ini memang bukan kali pertamaku tidur dengannya, tapi tetap saja aku merasa nervous luar biasa, meskipun Ranu sudah mengatakan kalau dia tidak akan melakukan tindakan yang tidak kusuka.

"Ngapain, Aru?"

Aku buru-buru menurunkan kaki begitu Yogi masuk ke dalam ruangan di mana aku sedang melakukan handstand. Karena terlalu terburu-buru aku tidak bisa menyeimbangkan tubuh dan akhirnya sedikit oleng dan membuat pendaratan kakiku menjadi tidak mulus. Akhirnya aku terjatuh dengan bunyi bedebum keras.

Yogi tidak lekas menghampiriku ataupun membantuku, dia justru menatapku dengan sorot mata geli sambil menggelengkan kepala melihatku yang sedang kesusahan berdiri.

"Ngapain, Aru?" tanyanya lagi tapi dalam konteks dan intonasi yang berbeda. "Kayak amatir aja," cibirnya.

Aku berdecak menanggapi cibiran Yogi. "Kaget tahu, Mas? Lo dateng tiba-tiba kayak setan aja tahu!"

Dia semakin tertawa. "Apaan, lo nya aja yang dari tadi nggak fokus. Gue udah ada di depan situ dari tadi kali." Yogi menunjuk pintu dengan dagunya.

"Emang iya?"

"Tuh, kan. Emang lo-nya aja yang dari tadi melamun. Gue sama Theresia ada di situ sejak tadi. Kalau lo fokus nggak mungkin nggak denger obrolan kami."

Aku pura-pura melongok ke depan pintu dan mencari sosok yang diceritakan Yogi. Dan ternyata di sana tidak ada siapa-siapa.

"Lo ngomong sama hantu, Mas?" tanyaku setelah menarik kepalaku kembali.

"Apa?" Yogi menatapku bingung.

"Katanya tadi ngomong sama Sia … Sia … siapa sih?"

"Theresia?"

"Nah, itu. Mana? Nggak ada! Lo habis ngomong sama hantu?" Aku mengendikkan bahu.

"Sembarangan." Yogi melempar handuk padaku dengan wajah pura-pura marah. Aku terbahak melihat wajah pura-pura Yogi. "Makannya tadi gue bilang apa? Kalau lo fokus lo pasti denger obrolan kami. Lagian lo aneh, handstand sambil melamum? Seriously?"

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang