11.

182 45 0
                                    

*****

Aku tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Sejak kecil setiap aku menghadiri acara pernikahan bersama Mama aku selalu membayangkan bagaimana ya kira-kira pernikahanku nanti? Apakah akan seramai ini? Gaun seperti apa yang akan kukenakan? Apakah aku akan secantik Cinderella? Ataukah Putri Jasmine? Atau Putri Aurora? Dan dengan siapa aku akan menikah nanti? Adakah pangeran yang mau melamarku? Rasanya saat itu segala macam bayangan menggebu memenuhi dada karena semua kisah cerita yang aku baca selalu berakhir dengan pernikahan dan bahagia selamanya.

Dan semenjak hadirnya Binar dalam hidupku aku merasa pasti bisa membuat angan-angan itu menjadi kenyataan. Karena Binar adalah satu-satunya orang yang aku inginkan dalam hidupku untuk bersama-sama mewujudkan angan-angan yang selama ini aku impikan. Banyak hal yang ingin aku lakukan bersama Binar. Banyak hal yang ingin aku raih bersamanya. Banyak rencana-rencana yang sudah aku susun ke depannya saat kami sudah menikah nanti. Banyak sekali harapanku padanya.

Dan sekarang, layaknya menara kartu yang sudah kususun tinggi lalu salah satu kartu tiba-tiba diambil paksa, membuat seluruh menara itu roboh menjadi puing-puing kartu pipih yang bertumpuk berantakan. Meninggalnya Binar membuat segala susunan rencana dan anganku pun ikut berantakan seperti kartu itu. Pasalnya bukan hanya rencana-rencana saja yang berantakan bahkan pernikahan yang aku impikan pun ikut sirna.

****

Aku masih terpaku sejak lima belas menit lalu di depan cermin yang ada di kamarku. Bergeming. Membatu. Tanpa sedikitpun ingin beranjak dari sana. Yang aku lakukan hanya menatap cermin yang tengah menampilkan wanita cantik yang sudah mengenakan kebaya pengantin modern berwarna putih dan sebuah tiara di atas kepalanya. Wajah ayu yang sudah terpoles cantik itu justru terlihat sendu padahal seharusnya rona bahagia lah yang ditampilkan oleh wajah itu. Tapi mau bagaimana lagi. Ini memang pernikahanku. Ini memang hari bahagiku. Ini memang hari penting dan sakral yang sudah sangat aku nantikan sejak berbulan-bulan lalu. Tapi bukan seperti ini yang aku bayangkan.

Berulang kali kutarik napas panjang untuk meredakan sesak yang ada di dada. Tapi tetap saja hal itu tak akan mengubah apa-apa.

"Kak Aru sudah siap?"

Aku menoleh lewat pantulan cermin ke arah Rinjani yang sejak tadi menemaniku. Mereka --Bunda, Rinjani dan Ranu memang sekalian ikut ke sini sejak subuh tadi saat aku dan Bunda pulang ke rumah. Karena sesuai kesepakatan, hari ini acara pernikahan akan tetap dilangsungkan.

Kuanggukkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaannya. Rinjani langsung bangkit dari duduknya dan menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya hendak membantuku berdiri yang langsung aku sambut dengan senang hati.

Tapi saat aku hendak berdiri kepalaku berputar-putar lagi. Aku sedikit limbung. Beruntung Rinjani tangkas menangkapku. Kalau tidak, aku akan menjadi pengantin wanita paling mengenaskan di dunia. Sudah ditinggal mati calon suami, sekarang harus pingsan sebelum pernikahan pula.

"Tiati, Kak," katanya perhatian.

Aku tidak menjawabnya lantaran sekarang aku fokus untuk mendapatkan kembali kesadaranku. Agaknya efek obat yang diberikan Ranu sudah habis karena yang kurasakan sekarang hampir sama dengan gejala saat Ranu menemukanku sedang muntah di kamar mandi semalam. Dan sejak saat itu aku memang belum apa-apa hingga sekarang.

Rinjani membawaku keluar kamar menuju halaman rumah di mana acaranya dilangsungkan. Halaman yang sudah disulap sedemikian rupa yang justru sekarang aku abaikan. Aku tidak peduli kursi-kursi yang sudah ditata rapi itu penuh dengan tamu undangan atau tidak. Aku tidak peduli panggung singgasana itu cantik atau tidak. Aku bahkan tidak peduli dengan pandangan orang-orang kini sedang melihatku bagaimana. Karena yang ada di pikiranku sekarang adalah apakah pernikahan ini sudah benar? Apakah keputusanku ini sudah benar? Apakah ini benar-benar yang diinginkan Binar?

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang