28

169 47 8
                                    

****

Aku bersembunyi di dalam selimut. Sepulangnya dari sanggar tadi yang kulakukan adalah mengurung diri. Hari ini aku pulang dengan perasaan hancur. Hancur karena lagi-lagi teringat Binar setelah sekian lama mencoba melupakannya. Hancur karena ternyata masih ada yang menjelek-jelekkannya padahal dia sudah tidak ada. Hancur karena Bu Lidya tidak mau menerima konsekuensi atas tindakanku yang katanya membuat keresahan hingga membuat beberapa anggota membatalkan kelas setelah tahu insiden yang terjadi tadi.

Aku tahu kalau dunia itu tidak adil, tapi kenapa rasanya ketidakadilan itu selalu berputar padaku?

Apa aku salah jika tadi aku marah? Apa aku salah jika tadi aku membela Binar? Apa perkataanku tadi ada yang salah di mata mereka? Bagaimana jika seandainya situasinya dibalik, gantian aku yang menjelek-jelekkan suaminya ibu-ibu tadi di depan wajahnya sendiri seperti apa yang tadi dia lakukan padaku. Apa dia akan menerimanya dengan senyum di wajahnya? Tentu saja tidak, bukan? Aku yakin mungkin yang akan dia lakukan justru lebih parah dari pada apa yang kulakukan tadi. Tapi kenapa aku yang tetap menerima imbasnya?

Apakah sebagai tenaga kerja aku harus terus mengalah? Tidak boleh membela diri? Tidak boleh membela orang yang kusayangi? Apakah aku harus terus memaklumi? Apakah mereka yang harus terus dibenarkan terlepas dari bagaimana kenyataannya?

Kenapa dunia selalu tidak adil padaku? Seharusnya mereka lah yang dikasih peringatan agar menjaga omongan mereka, tapi kenapa justru aku yang mendapat Pemutusan Hubungan Kerja dari Bu Lidya.

Dan kenapa banyak sekali pertanyaan yang bercokol di kepalaku?

Aku ingin sekali marah, tapi pada siapa? Aku ingin sekali mengamuk, pasti lagi-lagi akan dikatakan childish dan tidak dewasa.

Akhirnya sekarang aku hanya bisa menjerit sembari menutup wajahku dengan bantal agar suara jeritanku teredam. Dadaku benar-benar sakit mengingat mereka menjelek-jelekkan Binar.

"Aru, kamu kenapa?" Itu suara Ranu. Dan kurasa akan bertambah lagi masalahku jika dia tahu penyebab aku menangis hari ini. Ranu tidak suka aku menyebut-nyebut nama Binar lagi dalam hubungan rumah tangga kami.

Untuk pertama kalinya setelah kejadian semalam aku menyesal menyetujui sekamar dengannya. Andai aku masih tidur di kamar berbeda Ranu tak akan melihatku yang menangis seperti ini.

Aku memelankan jeritanku dan sekarang hanya tersisa isakan yang keluar dari mulutku. Bahkan sekarang saat aku sudah mempunyai Ranu sebagai suamiku pun aku tak bisa mengeluh padanya tentang apa yang terjadi.

Akhirnya aku hanya bisa semakin merapatkan bantal ke arah wajahku, menangis lagi di sana, saat kurasakan Ranu duduk di belakangku dan mengukungku dengan tubuhnya.

"Hei, kamu kenapa?" tanyanya lagi sembari mencoba mengambil bantal yang sedang kupegang dan menarik tubuhku agar terlentang.

Jelas saja aku tak mau menurutinya dan masih tetap meringkuk di bawahnya semakin merapatkan bantal itu ke wajahku juga. Aku sedang tak ingin melihat Ranu. Selain karena aku merasa sebal padanya sekarang pasti mataku juga sudah bengkak luar biasa.

Kurasakan Ranu semakin merapatkan tubuhnya padaku dan menarikku.

"Kamu ada masalah? Coba cerita. Siapa tahu aku bisa bantu," tawarnya dengan suara yang sangat lembut.

Andai aku tidak pernah mendengarnya melarangku  menyebut-nyebut nama Binar dalam rumah tangga kami, aku pasti tergiur dengan tawarannya itu. Pasti sudah ku keluarkan semua isi hatiku padanya. Kukeluhkan semuanya. Bahkan hingga caci makian yang sejak tadi kupendam juga.

Sayang, aku sudah pernah mendengarnya. Kurasa percuma dia menawarkan bantuan padaku. Apa gunanya bercerita jika hanya akan mendapatkan pengabaian saja?

"Nggak ada. Aku nggak butuh Mas Ranu," kataku ketus dengan suara yang sudah serak luar biasa.

"Ada apa? Kamu ada masalah di tempat kerja, hm?"

Dan seperti Ranu yang biasa. Dia akan mencecarku hingga aku mau membuka suara.

Mau tidak mau akhirnya aku membuka bantal dan menoleh padanya. Wajah Ranu terlihat khawatir padaku. Meskipun aku tidak tahu bagaimana reaksinya setelah mendengar ceritaku nanti. Masihkah dia khawatir seperti ini atau justru marah seperti waktu itu.

"Memangnya kalau aku cerita sama Mas Ranu, Mas Ranu bisa apa? Paling-paling cuma bilang. 'Binar lagi! Binar lagi! Bisa nggak sih kamu tidak membawa-bawa Binar'," ucapku menirukan gaya intonasi suaranya saat itu.

Dan Ranu hanya terdiam. Benar, kan! Apa aku bilang. Dia nggak akan bisa membantu apa-apa. Nyatanya baru mendengar nama Binar saja dia sudah tidak suka. Padahal Binar adalah adiknya sendiri.

Jadi aku kembali menutup kepalaku. Tapi Ranu dengan cepat menarik bantalnya lagi, jadi aku menutupnya menggunakan lenganku.

"Jadi ini tentang Binar? Ada apa dengan Binar?" tanyanya.

Aku berdecih meremehkannya. Apa sekarang dia mau berpura-pura peduli?

"Aru, katakan!"

Aku membuka lenganku dan menatap marah padanya.

"Kenapa? Apa Mas Ranu juga mau mengatakan kalau aku beruntung karena akhirnya menikah denganmu yang serba sempurna ini dari pada dengan Binar yang terlihat urakan? Apa Mas Ranu juga mau mengatakan itu?" Aku menatap nyalang padanya. "Jika aku bisa memilih, aku akan lebih memilih Binar seratus kali lipatnya dari pada Mas Ranu yang katanya serba sempurna." Aku menjeda karena rasanya dadaku begitu sesak. Ternyata meluapkan ini semua tak mudah. "Tapi mereka nggak tahu. Mereka nggak tahu apa-apa tentang Binar, kenapa bisa menjelek-jelekkan Binar di depan wajahku." Aku tergugu. Masih tidak ikhlas. Tidak terima. Tidak rela. Binar adalah segalanya. Mereka tidak tahu apa-apa.

Bukankah banyak yang mengatakan jangan melihat sesuatu dari sampulnya? Itulah yang tidak diketahui orang-orang tentang Binar. Memang dia terlihat seperti preman, tapi aku yakin hatinya jauh lebih baik dari pada Wisnu, mantanku yang terkenal alim.

Di saat aku mengira Ranu akan marah yang dia lakukan justru mencium keningku. Dia menciumku lama di sana, hingga akhirnya dia melepaskannya dan menatap mataku.

"Binar beruntung, Aru punya seseorang seperti kamu yang mencintainya setulus hati," katanya sembari mengusap air mataku. "Maaf, sudah marah saat itu. Aku tidak tahu cintamu pada Binar ternyata sebesar ini." Ranu menciumku lagi.

"Mas Ranu tidak marah?"

"Kenapa harus marah? Seharusnya aku bersyukur ada seseorang yang mencintai Binar seperti kamu. Kamu spesial Aru." Dia menciumku lagi. Tapi kali ini tidak hanya di kening, tapi juga di pipi, hidung, alis, mata bahkan bibirku juga. Dan aku pasrah menerimanya.

Sisa malam itu aku habiskan untuk banyak bercerita pada Ranu. Tentang Binar. Tentang kami. Tentang sanggar. Dan tentang pemecatanku juga. Dan Ranu mendengarkanku dengan seksama. Dia hanya menimpali sekenanya, atau memberikan saran dan nasihat tentang apa yang harus kulakukan di masa depan karena sekarang aku tidak lagi bekerja.

Dan setelahnya, kami melakukannya. Untuk pertama kalinya aku menyerahkan diriku pada Ranu.

TBC
*****

Akhirnya pecah telor juga ya Ru 🤭

Ciee … ciee … Ranu. Ihik ihik. 😆😆

IG. Zeeniyee_



Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang