4.

177 44 2
                                    

********

Matahari belum sepenuhnya timbul saat aku membuka mata. Dan hal pertama yang aku lihat adalah sekumpulan orang berpakaian hitam dan berpakaian putih. Mereka sedang membaca doa dzikir dan tahlil yang seketika menyedot kesadaranku. Otakku buntu. Hatiku beku, seolah segala sesuatu hal di dunia ini menjadi abstrak dan tidak jelas. Akhirnya sekarang aku paham akan kegelisahanku semalam jika itu bukan euforia kebahagiaan, melainkan ketakutan hati akan sebuah tanda kepergian Binar.

Ah, Binar. Setiap mengingat nama itu rasanya hatiku hancur-sehancurnya. Kenapa Tuhan selalu memisahkanku dengan dia. Tidak dulu tidak sekarang. Kenapa rasanya sulit sekali bersama dengannya. Apakah jika aku mati Tuhan akan berbaik hati untuk mempersatukan kami? Jika iya aku akan dengan senang hati menyusulnya ke 'sana' di tempat yang sekarang ia kunjungi.

"Yang sabar ya, Sayang."

Aku menoleh saat merasakan usapan lembut di kepalaku. Bunda menatapku dengan mata yang sembab penuh air mata. "Kita harus kuat, buat kebaikan Binar juga di sana."

Aku lantas menghambur ke pelukannya. Mencari ketenangan di sana.

"Binar Bunda. Binar jahat banget sama Aru. Dia ninggalin Aru lagi, Bunda. Marahin dia, Bunda. Jewer kupingnya. Bilangin ke dia, jangan suka pergi-pergi lagi tanpa pamit kayak gini," isakku ditengah pelukan Bunda.

Bunda membalas pelukanku. "Ssst ... Iya, nanti Bunda marahin dia ya ... Kamu harus kuat ya, Sayang," katanya dengan suara yang bergetar juga.

"Kesalahan apa yang sudah Aru lakukan, Bunda. Kenapa Tuhan kayak gini ke Aru. Aru cinta Binar Bunda. Aru mau Binar, Bun. Suruh Binar pulang Bunda. Aru mau nikah sama dia."

Kurasakan Bunda semakin memeluk tubuhku, erat. Untuk sesaat aku memang merasakan sedikit ketenangan. Namun, semakin aku merasakan dekapan Bunda, semakin aku sadar Binarku, cahayaku, cintaku, calon suamiku tidak akan pernah kembali.

"Binar jahat, Bunda."

"Nggak. Dia nggak jahat, Sayang."

"Dia nggak cinta sama Aru."

"Dia cinta sama kamu. Tapi Allah lebih cinta sama dia. Ikhlaskan ya, Sayang."

"Suruh Binar pulang Bunda. Besok dia mau nikah sama Aru."

"Iya, nanti Binar pulang. Iya, nanti Binar pulang."

Aku semakin terisak di pelukan Bunda.

Dan benar apa kata Bunda. Selang tak berapa lama Binar memang pulang. Akan tetapi bukan pulang seperti yang aku inginkan. Dengan senyum tengil di bibirnya, atau dengan menenteng sesuatu di tangannya. Dia memang pulang tapi diiringi banyak orang. Dia memang pulang tapi tidak dengan mobilnya sendiri. Mobil jenazah dengan suara sirine yang memekakkan telingalah yang membawanya pulang.

Saat mobil itu berhenti di depan rumah, orang-orang yang tadinya mengaji berhenti dan berdiri menyambut kedatangannya. Beberapa orang berkerumun di sekitar mobil membantu mengeluarkan Binar dari sana.

Mati-matian aku menahan tangis dan membekap mulut untuk tidak bersuara saat keranda Binar mulai dikeluarkan dari mobil itu. Aku sangat ingin berlari ke sana tapi aku tidak merasakan kakiku. Napasku terengah-engah, dadaku rasanya sakit.

Keranda Binar diletakkan di tengah-tengah ruangan, penutupnya dibuka, begitu juga dengan kain kafannya. Akhirnya aku bisa melihat Binar. Matanya terpejam. Begitu tenang. Begitu tampan. Dia seolah sedang tidur di sana. Tidur yang sangat damai. Tidur yang sangat panjang.

"Binar," bisikku, berharap dia akan mendengarnya dan kembali membuka mata.

"Binar," lagi. Aku masih tidak akan menyerah padanya.

"Binar, bangun." Aku mulai mengguncang tubuhnya pelan.

"Bangun, Sayang. Ini aku. Aru, calon istrimu."

Masih tak ada respon darinya. Tak ada dan tak akan pernah ada.

Akhirnya aku tidak mampu lagi menahan segalanya. Pertahananku runtuh di sana. Aku menangis meraung-raung di depan jenazah Binar yang sudah terbujur kaku.

"BINAAAR!" Suaraku pecah. Aku memukul-mukul lantai di sebelah tubuh Binar, melampiaskan segala rasa sakit yang kurasakan.

"BANGUUN! BINAAAR! BANGUUN! BESOK KITA MENIKAH! AYOLAH! JANGAN GINI!"

Aku mendekat lagi pada tubuh Binar. Kuciumi wajahnya yang putih itu berulang kali.

"BINAAAR! AYOLAH! BANGUUUN!"

Kurasakan seseorang menarikku, mengangkatku, menjauhkanku dari tubuh Binar. Aku berontak sekuat tenaga berusaha melepaskan diri.

"LEPAS! LEPASKAN AKU! AKU MAU BINAR!" teriakku berulang kali. Aku hanya ingin Binar. Aku ingin bersamanya. Aku ingin di sisinya. Kenapa tidak ada yang bisa mengerti aku.

"Ssssh ... Ssssh ... Tenang, Aru. Tenang."

"LEPAS! LEPAS!"

"Tenang, Aru. Binar tidak akan suka kamu seperti ini."

Setelahnya kurasakan tubuhku didekap oleh seseorang. Entah siapa dia. Dekapannya begitu kuat, tapi sama sekali tidak menyakitiku. Aku merasakan ketenangan di sana. Dan saat aku sedikit mendapatkan kesadaran, aku tahu Ranu lah yang tengah mendekapku.

"Binar, Mas. Binar, Mas. Binar pergi," lirihku berharap dia mengerti akan rasa sakitku karena yang kutahu dia juga mencintai Binar sama besarnya seperti aku mencintainya.

"Iya. Dia sudah pergi. Ikhlaskan dia."

Setelahnya aku tak ingat apa-apa lagi.

*****

Kecelakaan tunggal itu terjadi sekitar pukul 03.45 pagi. Dari kesaksian teman-temannya, sebenarnya Binar sudah diminta untuk menginap saja di restoran tempatnya mengadakan pesta, dan pulang keesokan harinya, karena toh restoran itu milik salah satu temannya sendiri. Tapi Binar menolak, dia mengatakan ingin pulang saja dan beristirahat di rumah.

Di perjalanan, di duga saat itu Binar sedang dalam keadaan mengantuk, karena dari tes yang dilakukan tidak ditemukan adanya kadar alkohol sama sekali dalam tubuhnya. Dan dari rekaman CCTV yang ada di sekitar lokasi kejadian, motor yang dikendarai Binar yang seharusnya berbelok justru terus melaju hingga menabrak sebuah pohon. Tubuh Binar terpental jauh beberapa meter, berguling hingga menabrak pembatas jalan.

Tidak ditemukan luka serius pada tubuh Binar, hanya lebam kebiruan pada dada bagian kiri dekat jantung. Kata Dokter Binar mengalami Pneumotoraks di mana terjadi kebocoran di ruang antara paru-paru dan dinding dada akibat hantaman benda tumpul, hingga terjadilah pengumpulan cairan dalam kantung yang mengelilingi jantung yang dinamakan Tamponade Jantung. Tamponade jantung memberikan tekanan pada jantung dan mencegahnya terisi dengan benar yang mengakibatkan tekanan darah mengalami penurunan drastis.

Itulah penjelasan yang aku terima tadi saat bertanya tentang kondisi Binar.

Namun dari sekian banyak penjelasan itu ada satu hal yang menyita perhatianku. Dari kesaksian teman-temannya Binar, mereka serempak mengatakan kalau semalam Binar seperti orang yang gelisah dan berkali-kali mengatakan ingin pulang bahwa dia sudah ditunggu. Tapi mereka mencegahnya. Mereka hanya berpikir, Binar hanya calon pengantin yang tidak sabar dan ingin segera menikah saja. Mereka tidak menyangka kalau mungkin yang Binar maksud bukanlah itu. Segala apa pun yang Binar lakukan seolah dia sudah memberi tanda pada mereka akan kepergiannya.

Lalu bagaimana denganku? Binar sama sekali tak memberikan tanda apa pun padaku. Kami masih ngobrol dengan baik semalam, dan dia tidak mengatakan apa pun. Kami juga masih saling menyatakan cinta. Lalu di mana kesalahannya. Di mana kesalahanku. Apa karena aku melanggar aturan pingitan? Apa karena aku meneleponnya? Apa memang benar-benar bisa sefatal itu cuma hanya menelepon saja? Jika iya bisakah aku memutar waktu?

Sekarang aku hanya bisa menyesal. Menyesali segala yang sudah kulakukan. Menyesali segala apa yang telah terjadi. Binar sudah benar-benar pergi dan tak akan pernah kembali.

"Binar ... Aku mencintaimu," ungkapku untuk yang terakhir kali sambil memeluk foto Binar yang tengah tersenyum manis sambil memelukku.

TBC
*****

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang