****
Akhirnya aku mengerti dengan ucapan Ranu begitu aku ingin masuk ke dalam kamar. Kamar itu tidak bisa dibuka. Pintunya terkunci. Berulang kali aku mencoba membukanya dan itu tetap tidak bisa. Pintunya benar-benar terkunci.
Aku baru sadar kalau selama ini aku tengah dibohongi oleh Ranu. Nyatanya kunci pintu kamarku bisa diganti tanpa mengganti pintunya juga. Jadi selama ini dia merusak kunci pintu kamarku itu untuk apa?
Karena merasa sebal sudah dibodohi dan merasa sebal pintu kamarku tidak bisa dibuka akhirnya aku tidur di kamar Ranu dengan setengah terpaksa. Dan saat hendak tidur aku sengaja menyisakan sepertiga ranjang untuk dia dan sisanya untukku dengan guling sebagai pembatasnya.
Bodo amat nanti dia tidak bisa bergerak. Salah sendiri suka bikin gara-gara.
Bahkan saking sebalnya dengan Ranu rasa nervous yang sepagian ini menghantuiku juga hilang entah ke mana.
"Tidur, Aru!" pinta Ranu di saat aku hampir saja terlelap.
Aku berdecak, membuka mata sekejap dan menutupnya kembali. "Ini juga mau tidur, Mas. Padahal tadi sudah hampir mau mimpi," gerutuku.
Padahal seharusnya dia tahu kalau aku sudah hampir terlelap karena posisinya masih duduk di kepala ranjang sedang membaca buku. Kenapa masih juga ditanya?
"Mimpi apa?"
"Kan tadi sudah dibilang baru mau mimpi," jawabku lagi masih dengan mata tertutup dan memunggungi Ranu.
"Udah baca doa belum?"
"Mas, aku bukan anak kecil lagi."
"Baca doa sebelum tidur itu memang untuk anak kecil saja?" sahutnya cepat.
Aku berdecak lagi dan menoleh sengit padanya. Ranunya sendiri justru melihatku dengan alis terangkat satu.
"Maksudnya, aku itu udah besar. Jadiii nggak perlu diingatkan untuk baca doa sebelum tidur. Karena nggak perlu diingatkan juga pasti aku akan membacanya," jawabku dengan menekan setiap katanya. "Begitu Mas Ranu, sayang." Aku kembali merebahkan kepala.
"Duh senangnya saat istriku memanggil sayang."
Sontak aku terdiam dan pura-pura memejamkan mata. Rasa kantukku menguap entah ke mana. Tapi aku tetap diam. Beberapa menit setelahnya yang terdengar hanya suara gemerisik buku yang dibolak-balik.
Lalu setelah beberapa saat aku mendengar suara buku dan gemeletak kacamata yang ditaruh di atas meja. Kasur belakangku bergoyang, guling yang kutaruh sebagai pembatas diambil dan selimut yang juga ikut tertarik ke belakang. Setelahnya kurasakan tangan Ranu memeluk pinggangku.
"Apaan sih, Mas, nggak usah meluk-meluk," sentakku menyingkirkan tangan Ranu.
Bukannya menuruti, Ranu justru memelukku lagi dan mempererat pelukannya. "Sebenarnya nggak ada niatan buat meluk, Aru. Tapi kamu cuma nyisahin tempat segini buat aku. Ya mau tidak mau aku harus meluk kamu biar nggak terjatuh nanti."
Aku mencebik sembari menggeser tubuhku ke depan. "Dih, modus."
Ranu ikutan bergeser dan memelukku lagi. "Bukan modus, ini namanya usaha."
"Usaha apa?"
"Mendekati kamu, siapa tahu malam ini bisa dapat jatah?" kekehnya.
Aku mendesis. "Mas!"
"Iya. Iya. Nggak akan maksa. Cuma meluk saja masa nggak boleh?
Aku tak menyahuti ucapan Ranu lagi dan tetap membiarkan tangannya memeluk pinggangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Jodoh Tak Bisa Memilih
Romance#odocthe_wwg #projectRomance Tanggal 15 Mei seharusnya menjadi hari yang bahagia bagi Arunika, justru menjadi hari yang menyedihkan baginya. Karena pada hari itu ia gagal menikah dengan Binar, kekasihnya karena sebuah kecelakaan yang membuat Binar m...