*****
Aku menggeliat dalam tidurku dan tanpa sengaja kurasakan tanganku menyentuh sesuatu yang aneh, sesuatu yang lembut dan hangat.
Lekas saja aku mulai mencoba membuka mata. Dan dalam riap-riap mataku yang masih menyipit hal pertama yang kutemukan dalam netraku adalah wajah Ranu yang sedang tertidur lelap dengan satu sisi wajahnya menempel di bantal.
Aku berusaha mengumpulkan nyawa dan memunguti kepingan otakku untuk mencerna adegan ini. Kenapa Ranu ada di sini? Kenapa aku bisa tidur satu ranjang dengannya? Kenapa ini bisa terjadi?
Lalu setelah otakku memproses semuanya dan kepingan kesadaranku mulai terkumpul sepenuhnya, kini aku baru ingat kalau semalam akulah yang mendatanginya di kamarnya dan berakhir ketiduran di kamar ini.
Untung saja aku belum berteriak heboh dan menendang Ranu dari ranjang karena itulah yang terlintas dalam kepalaku tadi. Jika saja itu sudah kulakukan betapa malunya aku untuk bertemu Ranu nanti.
Kulihat jam di dinding yang baru menunjukkan pukul tiga kurang lima menit, masih lama untuk waktunya orang-orang bangun tidur, dan jika dipaksa untuk tidur lagi aku takkan bisa melakukannya. Ini sudah menjadi kebiasaanku sejak lama. Dan kalau aku memaksa bangun sekarang aku tidak tahu harus melakukan apa.
Aku bukan tipe orang yang suka di dapur menyiapkan segalanya. Selama tinggal di sini pun aku tak pernah ikut membantu Bunda di dapur untuk menyiapkan sarapan. Dan Bunda juga sepertinya tidak merasa keberatan dengan itu semua.
Entah, apa benar itu yang dirasakan Bunda atau tidak, yang jelas aku tidak pernah mendengar atau melihat Bunda mengeluh akan sikapku karena toh hampir semua pekerjaan di rumah ini sudah dikerjakan oleh pembantu.
Jadi hal yang kulakukan sekarang adalah tetap berada di posisi yang sama saat aku pertama kali membuka mata. Berbaring menyamping menghadap Ranu yang masih tertidur lelap dalam posisi tengkurap.
Kupandangi wajah itu, wajah yang terlihat begitu damai dan tenang. Wajah orang yang sekarang berstatus suamiku. Wajah orang yang akan hidup denganku mulai saat ini. Wajah orang yang memiliki mata cokelat madu terang yang sekarang tengah terbuka.
"Eh."
Aku mengerjap beberapa kali saat mataku dan Ranu saling berpandangan dalam posisi saling berhadapan satu sama lain.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut kami berdua selain suaraku tadi yang begitu terkejut saat melihat matanya yang terbuka. Dan yang terdengar sekarang adalah suara deru napas kami yang mengalun begitu pelan, juga gema jantungku yang berdegup kencang.
Ranu tak bereaksi apa-apa setelahnya. Tidak ada sapaan selamat pagi atau apa. Yang dia lakukan hanya menatapku saja. Seolah dia belum terjaga sepenuhnya. Atau memang belum terjaga? Kurasa memang begitu, karena mata Ranu bahkan tak berkedip sama sekali.
Kutatap mata cokelat madu itu. Mata yang begitu indah menurutku. Karena yang kurasakan sekarang aku begitu terpesona dengan mata itu hingga membuatku enggan untuk berpaling dari sorot matanya yang seolah ingin mengunciku di dalam sana.
Dan karena keterpanaanku terhadap mata Ranu membuatku tak sadar jika sekarang Ranu sudah berada di atas tubuhku. Tubuhnya menjulang tinggi di sana membuatku terkejut seketika.
Refleks, kututup tubuhku dengan menyilangkan tangan di depan dada seolah itu bisa melindungi tubuhku dari Ranu dan menaikkan kaki untuk menutupi bagian di bawah sana. Tapi nahas, gerakanku yang tiba-tiba justru membuat bencana bagi Ranu. Karena tanpa sengaja lututku menendang asetnya yang bagitu berharga.
Ranu mengerang kesakitan. Aku meringis membayangkan betapa ngilunya milik Ranu yang baru saja aku tendang.
"Mas Ranu mau ngapain?!" tanyaku panik seraya beringsut menjauhinya. Ranu sendiri kini terduduk sambil memegangi asetnya. Wajahnya terlihat sangat kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Jodoh Tak Bisa Memilih
Romance#odocthe_wwg #projectRomance Tanggal 15 Mei seharusnya menjadi hari yang bahagia bagi Arunika, justru menjadi hari yang menyedihkan baginya. Karena pada hari itu ia gagal menikah dengan Binar, kekasihnya karena sebuah kecelakaan yang membuat Binar m...