*****
Sore harinya aku langsung menyeret Binar ke sasana tinju milik Banu yang ada di kawasan Pasar Minggu. Dan mungkin karena merasa telah melakukan kesalahan, Binar mengikutiku tanpa bantahan sedikit pun.
Sesampainya di sana, aku langsung meminta perlengkapan pada Banu yang memang sudah kukabari sebelumnya, sekalian kuminta Banu untuk memakaikan aneka perlengkapan itu pada Binar juga.
Binar terlihat bingung pada awalnya, tapi lama-kelamaan dia mulai sadar dengan apa yang akan kulakukan padanya.
"Satu pukulan," kataku saat kami sudah berada di atas ring. "Jika kamu bisa memukulku sekali aku akan melepaskanmu dan tidak akan pernah mencampuri urusanmu lagi," kataku lagi.
Binar diam tapi matanya menyorotku tajam.
"Tapi jika kamu tidak bisa memukulku, jauhi gadis itu."
Binar masih tetap diam, karena sadar dia tidak memiliki pilihan.
Dia mulai memasang kuda-kuda, aku pun demikian. Dan setelah beberapa saat kami mulai saling adu tinju di atas ring yang lebih terlihat seperti pembantaian dari pada pertandingan.
*****
"Ayo, bangun!" kataku pada Binar yang sedang terduduk sambil mengusap ujung bibirnya yang berdarah.
Bukannya segera bangun, dia justru mendelik padaku.
"Apa cuma segitu kemampuanmu? Jangan cemen! Bangun!" kataku lagi.
Kulihat dia mendesah. Lalu menumpukan kedua tangannya sebagai penyangga tubuhnya. Binar bangun dengan susah payah.
"Sini," pancingku dengan menggerakkan boxing gloves yang kukenakan dua kali seolah menyuruhnya mendekat.
"Ayo. Cuma sekali masa nggak bisa?" pancingku lagi.
Binar memfokuskan matanya padaku seolah mencari titik-titik terbuka yang ada pada diriku.
Setelahnya dia mendekat dengan terburu-buru. Tangan kanannya yang terbungkus boxing gloves terangkat. Aku menyambutnya dengan posisi siap. Ia mengayunkannya ke arah wajahku. Aku segera mengelak karena pergerakannya terbaca dengan jelas dan akhirnya tinjunya hanya mengenai udara kosong.
Binar membuang napas frustasi dengan mata yang melihat tajam padaku.
"Come on," pancingku lagi sambil bergerak ke arah kanan, memutari tubuhnya. Binar mengikuti pergerakanku. Mungkin tidak ingin membuatku semakin jauh, dia mendekat lagi, mengayunkan tangan kirinya ke arah sisi wajahku yang lain, aku segera mengelak lagi, tapi sepertinya itu hanya pancingan karena tangan kanannya segera menyusul hendak memukul perut, aku langsung memblokirnya dengan tangan dan membalasnya dengan tinjuan di wajahnya yang masih terbungkus Boxing head guard, seketika Binar sempoyongan.
Binar mundur beberapa langkah, menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba agar tetap sadar. Meskipun wajahnya sudah terlindungi, tapi aku yakin tinjuku pasti rasanya sakit sekali karena memang aku tidak main-main kali ini.
Setelah beberapa saat Binar mendekat lagi. Ia meninju dengan membagi buta dan kembali menargetkan wajahku sebagai sasarannya yang jelas bisa kublokir dengan gampang. Aku membalasnya dengan meninju wajahnya dan ternyata Binar bisa memblokir tinjuku dengan tangannya, tapi bagian lain dari tubuhnya terbuka, seketika kumanfaatkan hal itu. Kuarahkan tanganku yang lain ke arah tulang rusuknya. Dan kena! Biar meringis kesakitan sambil membungkuk dan terbatuk-batuk.
"Baru segitu masa sudah menyerah? Mana Binar yang tadi mau memperkosa seseorang?" tanyaku dengan napas memburu karena rasanya dadaku hampir meledak, bukan hanya karena pertandingan ini tapi juga karena teringat apa yang kulihat tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Jodoh Tak Bisa Memilih
Romance#odocthe_wwg #projectRomance Tanggal 15 Mei seharusnya menjadi hari yang bahagia bagi Arunika, justru menjadi hari yang menyedihkan baginya. Karena pada hari itu ia gagal menikah dengan Binar, kekasihnya karena sebuah kecelakaan yang membuat Binar m...