24

157 41 0
                                    

****

"Keluar? Ke mana?" tanyaku sembari melihat Ranu yang sedang memasang apron di badannya. Dia menoleh setelah apronnya terpasang di tubuhnya.

"Ya, keluar saja. Jalan-jalan. Nyari angin? Katanya kamu butuh pengalihan?" katanya sembari memakai kaos tangan karet lalu mulai menuangkan sabun.

Aku diam dan Ranu kembali meneruskan kegiatannya mencuci piring.

Di saat dia sibuk dengan piring-piringnya, aku juga sibuk dengan pikiranku sendiri sembari memandangi punggung tegap Ranu.

Ranu yang nyatanya begitu sabar menghadapiku membuatku lagi-lagi teringat akan Binar dulu. Bukannya aku ingin selalu menyamakan atau membanding-bandingkan mereka, tapi nyatanya apa yang dia lakukan juga dilakukan oleh Binar dulu. Ranu yang tidak menghakimiku, Binar juga demikian. Ranu yang menerimaku, Binar juga demikian. Ranu yang mencoba membantuku untuk kembali bangkit, Binar juga demikian.

Kenapa mereka harus memiliki sikap yang sama padahal sifat mereka sangat berbeda? Dan kenapa jodoh tak bisa memilih. Kenapa aku harus berjodoh dengan Ranu.

"Aku penasaran Mas Ranu mau ngajak aku ke mana," kataku pada akhirnya mencoba menerima tawaran Ranu.

***

Aku berdiri di depan cermin rias yang ada di kamarku. Memandangi penampilanku di sana apakah sudah sempurna atau belum. Setelah mengoleskan lipstik terakhir sebagai penutup dan memastikan penampilanku benar-benar sudah sempurna aku lekas keluar dari kamar dan turun ke bawah di mana Ranu sudah menungguku di sana.

Ya, sesuai kesepakatan tadi siang, malam ini kami akan pergi keluar bersama. Katakanlah ini kencan, tapi mana ada kencan dengan status sudah menikah? Tapi tak apalah mending kencan seperti ini daripada tidak sama sekali, bukan?

"Mas," panggilku setelah aku tiba di ruang tamu.

Ranu yang tadinya sedang sibuk melihat ponselnya lekas menoleh padaku. "Sudah siap?" tanyanya seraya memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya.

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya tapi tak segera mengikuti Ranu yang sudah keluar lebih dulu.

"Kenapa?" Dia menoleh lagi setelah melihatku yang masih berdiri di tempatku. Ranu sendiri berdiri di depan pintu. "Apa ada yang salah?"

Aku langsung menggeleng. "Nggak kok. Nggak ada," kataku.

Ranu menelengkan kepala tak percaya.

Aku tersenyum kikuk. "Penampilan Mas Ranu bikin pangling banget. Apa aku salah kostum?"

Aku menunjuk dirinya yang malam ini terlihat sangat modis sekali. T-shirt berwarna abu dilapisi jaket kulit berwarna hitam, celana sobek berwarna hitam dan sepatu boot hitam juga. Bahkan Ranu juga mengenakan kacamata hitam layaknya orang yang mau bepergian.

Eh, tapi bukannya kami memang mau bepergian?

Tapi, untuk ukuran pria berusia 32 tahun dia terlihat keren dengan pakaian seperti itu. Apalagi tubuh Ranu yang gagah besar jadi terlihat lebih gahar.

Lalu aku menunjuk diriku sendiri yang hanya mengenakan atasan top berwarna putih, cutbray pants berwarna biru dan flat shoes berwarna hitam.

Bisa dikatakan kostum kami jomplang. Aku terkesan santai, karena kupikir ini hanya jalan-jalan biasa, apalagi kata Ranu kita akan menggunakan motor sebagai transportasinya. Tapi Ranu justru terlihat trendi layaknya anak muda.

"Nggak kok senyamanmu saja," katanya ringan. Dan aku masih diam. Dan keterdiamanku sepertinya diartikan lain oleh Ranu. "Apa aku harus ganti baju?"

Aku langsung menggeleng. "Nggak kok. Nggak perlu," kataku. Lalu aku diam menatap diriku sendiri. "Lalu, apa aku yang harus ganti baju?"

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang