6.

197 45 1
                                    

****

"Ranu, kamu diminta ke ruang kepala sekolah."

Aku yang sedang mengerjakan soal tentang Mean, Median dan Modus seketika mendongak, menatap Bu Migi guru BK yang ada di sekolah ini memanggil namaku.

"Saya, Bu?" tunjukku pada diriku sendiri dengan heran. Kenapa aku bisa dipanggil kepala sekolah?

"Iya, kamu. Kamu Ranu, 'kan?" tanya Bu Migi lagi.

"Iya, Bu. Saya Ranu," jawabku masih dengan tatapan heran. "Tapi kenapa ya, Bu?"

"Adik kamu berkelahi lagi. Dan ini lumayan parah karena sampai menceburkan temannya ke selokan."

Seketika ruangan kelas yang tadi hening karena masih dalam pelajaran berubah menjadi bising. Hampir semuanya menengok padaku dengan tatapan-tatapan aneh yang sangat tidak kusukai. Antara heran dan kasihan. Dan aku hanya bisa menghela napas sabar karena kejadian seperti ini sudah yang ke sekian kali.

"Iya, Bu. Sebentar,"  jawabku. Aku lekas menutup buku dengan bolpoin di dalamnya sebagai pembatas. Lalu menoleh ke arah Banu teman sebangkuku. "Titip dulu ya, Nu. Jangan dicontek."

"Siap." Dia mengangkat jempolnya.

Kemudian aku keluar kelas mengikuti Bu Migi menuju kantor kepala sekolah.

Dan setibanya di sana hal yang kudapati benar-benar membuatku menggelengkan kepala. Ada empat orang anak yang berdiri di depan meja Pak Sunaryo dan dua di antaranya sudah seperti tikus terjebut got berjam-jam. Dan salah satu anak itu adalah Binar yang berdiri sambil menundukkan kepala.

"Kamu Ranu?" tanya Pak Sunaryo, kepala sekolah SD ini yang jelas menurutku itu hanya sebuah basa-basi karena sudah jelas beliau sangat mengenalku karena langganan masuk ke kantornya ini.

"Iya, Pak," jawabku mengambil tempat di sebelah anak-anak itu berdiri.

Kulihat Pak Sunaryo menghela napas panjang sekali seolah beban di dadanya melebihi beban negara ini.

"Ini adik kamu?" tanyanya berbasa-basi lagi sambil menunjuk Binar. Karena menurutku beliau juga sudah tahu kalau Binar adalah adikku.

"Iya, Pak."

Pak Sunaryo terlihat memijat pangkal hidungnya sebentar, lalu menarik sebuah amplop yang ada di laci meja kerjanya yang pastinya sudah ia siapkan sejak tadi atau bahkan sejak berhari-hari lalu?

"Ini kasih ke ibumu nanti," ujarnya sambil menyodorkan amplop itu padaku.

"Iya, Pak," jawabku lagi.

"Dan kamu pulang saja bawa adikmu ini pulang sekalian. Dia tidak mungkin bisa sekolah dengan keadaan seperti itu."

"Iya, Pak." Lagi-lagi itu yang bisa aku ucapkan dari mulutku. Lalu berpamitan pada Pak Sunaryo.

Aku menengok ke arah Binar, mendekatinya dan menggenggam tangannya pelan.

"Ayo," ujarku sambil menggandeng tangannya keluar dari ruangan kepala sekolah, mengajaknya pulang.

******

"Kan sudah kubilang nggak usah didengerin yang kayak begitu. Abaikan saja," kataku pada Binar yang terlihat sangat mengenaskan. Meskipun kami bisa dibilang baru pulang sekolah, tapi seragam Binar justru terlihat seperti orang yang baru pulang dari sawah. Lecek, lusuh dan lumpur di mana-mana.

"Mereka duluan yang mulai," gerutunya sambil menendang-nendang kerikil kecil di bawah sepatunya.

"Ya, makannya jangan diladeni. Kamu itu kenapa susah banget dinasehati, sih?" dumelku mencoba sabar.

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang