20

176 38 1
                                    

****

Seharian ini yang kulakukan adalah berpikir. Berpikir dan berpikir. Berpikir bagaimana kunci bisa patah padahal kuncinya lumayan tebal. Berpikir bagaimana caranya mengeluarkan patahannya itu dari dalam lubangnya dan berpikir di mana aku bisa memesan pintu seperti itu,
karena kata Ranu kuncinya tidak bisa diganti kalau tidak dengan pintunya juga. Aneh.

Untuk pemikiran yang pertama aku sempat curiga pada Ranu kalau mungkin saja dia yang sengaja mematahkan kuncinya, tapi aku segera meralat pikiranku karena aku tidak bisa menebak motifnya apa?

Dan kalau benar Ranu yang melakukan itu seharusnya aku juga mendengar sesuatu saat dia mematahkan kunci itu semalam, tapi semalam aku tidak mendengar apa pun yang terjadi di kamarku. Dan lagi, kuncinya juga lumayan tebal, jadi kurasa mau segede apa pun tubuh Ranu, rasanya tidak mungkin dia bisa mematahkan kuncinya dengan tangannya sendiri. Jari, bagaimana bisa tiba-tiba kuncinya patah padahal aku yakin semalam masih baik-baik saja?

Dan untuk pemikiran yang kedua sebenarnya aku sudah berusaha untuk mencoba mencongkelnya seperti yang ada di film-film aksi yang selama ini aku tonton, tapi nyatanya tak semudah seperti kelihatannya.

Sedangkan pemikiran yang ketiga sungguh aku benar-benar tidak tahu di mana memesan pintu. Apakah aku harus pergi ke toko mebel?

Huft!

Aku benar-benar pusing sekarang. Tapi ada yang lebih membuatku pusing dari pada itu, kenapa aku harus bersusah-payah memikirkan pintu yang tidak bisa dikunci padahal selama ini aku juga tidur dengan pintu yang tidak pernah terkunci.

Kadang memang aku sungguh bodoh untuk beberapa hal remeh seperti ini. Makanya sekarang aku sedang merutuki diriku sendiri.

"Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Baik, sekarang silahkan untuk kembali duduk dan kembali menyilangkan kedua kakinya," kataku memberikan instruksi kepada anggota yang ikut kelas sore ini.

Seluruh anggota kelas yang berjumlah sembilan orang ini seketika mengikuti instruksiku, bangun dari asana rebahan dan duduk bersila dengan kedua tangan di atas paha. Semua mata mereka otomatis tertutup kembali tanpa aku mengulangi instruksiku lagi.

"Silakan tegakkan kembali postur tubuhnya dan rasakan di sekitar area pinggang," kataku lagi setelah mereka semua sudah dalam asana yang tepat. "Rasakan otot-otot kita, rasakan juga pernapasan kita, rileks-kan seluruh tubuh kita." Lagi, aku memberikan mereka arahan dengan nada suara yang mengalun lembut sesuai melodi yang terputar agar mereka bisa lebih rileks dalam menjalani kelas yoga ini.

"Dan pelan-pelan kita satukan kedua telapak tangan kita di depan dada. Pejamkan mata kita. Tundukkan kepala kita," instruksiku lagi. "Dan kita akhiri kelas sore hari ini dengan ucapan syukur kepada Tuhan yang telah memberikan kita napas, yang telah memberikan kita karunia, yang telah memberikan kita berkah dalam hidup kita," kataku menjeda. Aku pun mengikuti gerakan yang aku instruksikan. "Dan mari kita berterimakasih pada diri kita masing-masing yang telah mendukung aktifitas kita hari ini."

Aku mulai membuka mata. Melihat satu persatu anggota kelas yang masih dalam asana duduk bersila. "Silahkan pelan-pelan untuk mulai membuka matanya." Mereka mulai membuka mata satu persatu sesuai instruksiku. Dan setelah memastikan mereka semua telah membuka matanya, aku segera menutup kelas yoga ini. "Baik, saya rasa cukup sampai di sini untuk kelas sore hari ini. Saya Arunika, terima kasih banyak kepada teman-teman yang sudah mengikuti kelas sore ini," tutupku. Lalu terdengar suara tepuk tangan yang bergema.

Aku segera menyisih sembari mengelap keringat yang keluar dari pori-pori kulitku, lalu mengambil sebotol air mineral dan meminumnya.

Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di Pusat Harmoni & Yoga yang ada di JL Pangeran Antasari ini, setelah sebelumnya yang ada di daerah Kelapa Gading sana dibatalkan secara paksa oleh Ranu. Katanya dia tidak mau aku pulang-pergi terlalu jauh dari rumah jika masih tetap bekerja di sana.

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang