Ada begitu banyak hal tentang perasaan yang sulit dijelaskan di dunia ini. Ada yang saling membenci karena hal kecil, ada yang saling mencintai meskipun tau bahwa mereka tak bisa bersatu. Ada yang tetap bertahan meskipun tak nyaman, ada juga yang pergi meskipun sudah menetap di hati.
Semua itu butuh alasan karena atas nama alasan seringkali membuat seseorang mampu bertahan meskipun perasaan sudah tak karuan dan keadaan sudah tak membuatnya nyaman. Dan itu semua tak bisa dijelaskan dengan mudah karena perasaan dan hati seseorang itu tak mudah dipahami.
"Lo lagi nungguin apa sih, Lil? Dari tadi mondar-mandir sambil lihat jam." Seorang dokter muda bertanya pada salah satu temannya yang sejak tadi tak bisa duduk tenang.
"Kentut!" jawab seseorang yang bernama lengkap Khaylila Aristawidya.
Jawaban spontan Lila tadi sanggup membuat ruang PACU ( Post Anasthesia Care Unit ) yang semula sunyi menjadi terhias tawa.
"Astaga!! Dek Koas ini bisa saja bikin saya nggak ngantuk lagi!" timpal seorang perawat senior yang tadi satu jam yang lalu ikut terlibat operasi bersama Lila dan yang lain.
Lila meringis karena hanya menjawab asal dan tidak berniat membuat gaduh di ruang pemulihan itu. Dia memang sedang menunggu salah satu pasien pascaoperasi untuk buang angin agar bisa segera melapor ke dokter spesialis.
"Bakalan kangen saya kalau kamu udah nggak di sini, Lil! Sepi." seru seseorang bernama Iwan yang merupakan perawat anastesi.
Mendengar lelucon Iwan bukannya membuat Lila tertawa atau merasa tersanjung tapi dia malah melirik sinis ke arah lelaki empat puluh tahun itu. "Pak Iwan jahat ih!"
"Lah kenapa jahat?" tanya Iwanlagi.
Lila berjalan mendekat sambil berkacak pinggang. "Jangan asal bicara! Biasanya ucapan Pak Iwan itu keramat. Bilang kangen sama saya nanti dikabulin sama Tuhan, saya nggak jadi lulus." protes Lila yang langsung membuat Iwan dan yang lain tertawa.
"Lulus.. Lulus! Tenang saja!" Iwan memberi semangat.
Lila dan teman satu tim koasnya mengamini doa Iwan dengan keras. Bukan tanpa alasan karena poli kandungan ini adalah bagian terakhir dari seluruh rangkaian koasnya. Itu artinya tidak lama lagi dia akan menghadapi ujian akhir kedokteran dan tinggal sedikit tahap lagi dia akan resmi menyandang gelar dokter.
"Nanti pas ujian jedog-jedog selalu sebut nama Pak Iwan... Di jamin... Nggak ngaruh!" canda Iwan lagi yang pasti langsung menambah riang suasana.
Di sisi lain dari ruang itu ada dua dokter umum yang sejak tadi juga mendengar obrolan Lila dan yang lain. Mereka berdua tidak sempat menimpali keseruan itu karena sedang menyelesaikan tugas. Baru setelah selesai, salah satu diantaranya memekik sambil mengulur otot-otot tangan. "Akhirnya selesai... Mending disuruh dorong pasien naik lantai tiga deh gue daripada harus nulis resume gini!"
"Lo kebanyakan ngeluh, Ri!"
Ari, dokter yang baru saja mengeluh itu tak segan mencibir teman sejawatnya. "Halah lagak lo, Raf! Kayak bener aja! Gue masih ada noh rekaman lo waktu ngumpat nggak jelas karena bosen jadi dokter!" serunya.
Pemuda yang akrab disapa Rafa itu memandang jengah ke arah Ari. Sebenarnya sangat tertarik untuk adu mulut tapi langsung tersadarkan tumpukan kertas yang harus dia isi.
"Tapi ngomong-ngomong gue udah lama sih nggak dengar lo merengek pengin berhenti jadi dokter. Pasti ada alasannya, soalnya kemarin-kemarin tidak ada hari gue lalui tanpa keluhan lo yang bosan jadi dokter. Apa semenjak ada dedek-dedek koas itu?" ujar Ari sambil menaik turunkan alisnya untuk menggoda Rafa. "Eh, gue ralat! Bukan dedek-dedek koas tapi hanya Dek koas!" kali ini mata Ari tertuju pada Lila yang sedang berdiri untuk memeriksa pasiennya.
"Lagi gabut lo? Mending segera konsul ke Prof. Seno daripada lo mengarang bebas!" balas Rafa dan tak ragu menimpuk wajah Ari dengan map rekam medis.
Ari mengumpat sambil berjalan cepat menyamakan langkah Rafa yang keluar lebih dulu dari ruang pemulihan itu. Keduanya langsung menuju ruang masing-masing untuk menyelesaikan tugas sebelum shift berakhir.
Pukul dua siang, jadwal jaga pagi selesai. Rafa mengoperkan pasien pagi pada rekannya yang menggantikan jaga di shift siang kemudian dia bergegas mengganti snelli nya dengan hoodie army yang langsung merubah penampilannya.
"Halah!! Lo lagi!" keluh Rafa ketika baru saja keluar dari ruangannya langsung disambut wajah Ari.
Tawa khas yang dimiliki Ari langsung terdengar. Walaupun lebih sering berdebatnya tapi Rafa tetap senang berteman dengan Ari karena pembawaannya yang santai dan tak mudah terbawa perasaan ketika mereka bercanda.
"Tunggu sebentar, Ri!" Rafa memegang lengan Ari agar berhenti.
Ari yang melihat wajah serius dari Rafa ikut berhenti karena penasaran. Dia ikut mengamati salah satu dinding rumah sakit yang berhiaskan bahan kaca sehingga memantulkan bayangan mereka berdua. " Ada apa sih, Raf?"
"Lo sadar nggak sih? Kalau gue itu ganteng banget, gue aja sampai heran!" ujar Rafa dengan wajah tanpa dosa.
Ari yang merasa waktunya sia-sia untuk mendengarkan kesombongan Rafa itu tak segan untuk mengumpat meskipun dia juga mengakui bahwa Rafa pantas untuk menyombongkan wajahnya. "Bangke! Buang-buang waktu berharga gue!"
Rafa melanjutkan langkahnya meninggalkan Ari dengan segudang rasa kesal. Di saat keduanya berjalan menyusuri lorong bangsal, seseorang memanggil Rafa. Akhirnya mereka kembali berhenti.
"Mau pulang?" tanya orang itu ketika sudah berhasil sampai di depan Rafa.
"Hmm.." jawab Rafa sambil mengangguk. "Mau jemput Lila, Vin?" tanyanya lagi.
Giliran pria bernama Kevin itu mengangguk. "Iya. Mumpung ada kesempatan."
Rafa melempar senyum kemudian mempersilakan sepupunya itu menemui Lila tapi sepertinya Lila sangat mandiri karena dengan sendirinya dia menghampiri tempat dia dan Kevin juga Ari berdiri.
"Udah selesai, Yang?" sapa Kevin begitu kekasihnya itu sampai.
Lila mengangguk dengan semangat. "akhirnya aku bisa menghirup udara segar!" ungkapnya.
Kevin tersenyum geli melihat tingkah Lila yang sudah bertugas di rumah sakit sejak kemarin. Di depan Rafa dan Ari tak segan dia mengusap rambut Lila. "Setelah long shift, mau tidur atau—"
"No!! Aku mau pergi sama kamu. Pokoknya menghabiskan waktu sebelum kamu pergi ke Bali dan aku kembali tertawan di rumah sakit ini." Lila memotong ucapan Kevin.
"Siap!" balas Kevin sambil kembali mendaratkan tangannya di rambut Lila.
Dua sejoli yang terlihat sekali sedang bahagia itu kemudian pamit pada Rafa dan Ari untuk pergi lebih dulu menyisakan Ari yang sudah menahan tawa sejak tadi.
"Mungkin ini memang jalan takdirku... Mengagumi tanpa dicintai..."
Ari bernyanyi sepanjang jalan hingga parkiran bermaksud mengejek Rafa tapi sayang yang diejek tetap anteng tak terpengaruh.
➿➿➿
17 Mei 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Triage Of Life
General FictionTriage adalah sistem penentuan untuk melakukan tindakan yang paling prioritas sesuai tingkat kegawatdaruratan. Ada empat warna untuk memberikan derajat penilaian, merah, kuning, hijau dan hitam. Warna merah adalah kasus yang harus didahulukan karen...