Bab 32 : Kawin Lari, Yuk!

3.9K 553 79
                                    

"Gue colok juga matanya kalau nggak berhenti natap kayak gitu!"

Rafa sama sekali tidak takut dengan ancaman Lila. Malah terasa menggemaskan di telinganya. Sungguh aneh memang. Cinta itu tidak bisa direncanakan dengan siapa dan karena apa. Seperti Rafa, yang tak hentinya jatuh cinta pada Lila salah satunya karena mulut ceplas - ceplosnya.

"Omongan mama pasti halus tapi nyakitin banget, ya?" Rafa mengabaikan ancaman itu dan memilih tetap menatap Lila penuh rasa bersalah.

"Lo pasti lebih paham." jawab Lila santai.

"Kenapa lo nggak bilang dari awal?"

Lila mengambil selada yang ada di piringnya kemudian menyuapkannya secara paksa ke Rafa agar pria itu berhenti berbicara, sejak tadi telinganya berdenging karena Rafa tak berhenti meminta maaf dan membahas perihal mamanya.

"Gue diam aja, udah salah di mata tante Intan. Apalagi gue ngadu ke anaknya? Lagian yang beliau bicarakan nggak salah kok. Semua orangtua pasti mau yang terbaik untuk anaknya. Dan gue nggak pantas buat lo."

"Jangan merendah gitu, Lil!" sahut Rafa cepat.

"Siapa yang merendah? Maksudnya gue terlalu bagus buat lo." balas Lila.

Rafa terkekeh pelan dan tangannya sudah otomatis mengacak rambut Lila. "Betul. Setiap laki-laki, sebrengsek apapun dia, pasti menginginkan wanita yang lebih baik untuk jadi pasangan. Jadi gue nggak salah kan?"

Lila menggaruk rambutnya yang tidak gatal sambil mendesah kesal. Pria di sampingnya ini memang pandai bermain kata, pantas bersahabat erat dengan Akmal.

Rafa kembali menopang kepalanya dengan sebelah tangan ke arah Lila. Menatap gadis yang sedang makan dengan begitu memuja, sekaligus terluka karena menyadari begitu sulit untuk bisa mendapatkan hatinya.

"Kalau masih lapar, boleh nambah." ujar Rafa Tanpa merubah posisinya.

"Gue kalau kesal emang bawaannya pengin makan banyak. Jangan sampai lo gue makan juga kalau nggak berhenti natap gue."

Bukannya menuruti permintaan Lila, Rafa malah semakin intens menatap gadis itu. Hingga sebuah pemandangan sederhana berhasil mengalihkan perhatiannya. Matanya beralih ke pemandangan di luar restoran. Di jalanan ia melihat sepasang suami istri menaiki motor dan di tengah-tengah ada anaknya kecil. Mereka sedang menunggu lampu hijau.

"Padahal dengan hal sederhana pun anak bisa bahagia, ya?" gumamnya.

Lila mengikuti arah pandang Rafa. Seorang anak yang duduk di tengah-tengah kedua orangtua nya sedang tertawa lepas ketika Sang Ayah bercanda, pura-pura mendesak anaknya ke belakang.

"Sederhana itu tergantung keadaan." balas Lila, matanya juga ikut tertuju ke luar. Mulut menyangkal tapi dalam hati sangat memahami apa yang Rafa ucapkan.

Dua orang yang sama-sama punya masalah keluarga namun berbeda sebab itu secara bersamaan merenung ke arah jalanan. Mereka sama-sama belum bisa paham arti 'bahagia itu sederhana' karena bagi Rafa, bahagia itu artinya harus menyampingkan keinginan sendiri dan menuruti semua permintaan orang tua. Itu konsep bahagia yang ditanamkan orangtuanya. Karena papa dan mamanya hanya mengatakan jika mereka bahagia di saat Rafa berhasil menuruti permintaan mereka tanpa mau mengerti keinginan Rafa dengan dalih mereka tau apa yang terbaik untuknya.

Pun dengan Lila, bahagia itu juga tidak sederhana. Konsep bahagia yang tertanam di dalam pikirannya adalah anak harus mandiri dan tidak boleh mengeluh di hadapan kedua orang tua nya. Karena sejak kecil dia diajarkan begitu. Harus bisa mandiri, tidak boleh manja karena kedua orangtua nya sibuk dengan tanggung jawab lain. Mama dan papanya juga hanya mengatakan mereka bahagia ketika dia atau Saga sudah membawa sebuah keberhasilan ke hadapan mereka, tanpa mereka sempat menemani jatuh bangunnya ia dan Saga meraih keberhasilan itu.

 Triage Of Life Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang