Rafa dan Lila baru saja menapakkan kaki mereka keluar dari salah satu pintu teater, ketika tiba-tiba handphone Lila berdering nyaring menandakan sebuah panggilan masuk. Dia reflek melompat kegirangan ketika membaca nama Si Penelpon.
"Titip sebentar, Raf!" ujarnya sambil dengan enteng menitipkan popcorn dan minum sisa nontonnya pada Rafa.
Lila menepi ke lorong yang jauh dari jalan keluar, mondar mandir dengan wajah sumringah, nampak sekali rona bahagianya bisa berbicara dengan Kevin meskipun hanya lewat telepon.
Tiga puluh menit berlalu ia lalui tanpa terasa. Ketika menoleh dia tak mendapati Rafa lagi, bahkan lorongnya juga sudah sepi.
Lila melangkahkan kaki sambil menggerutu. Rasanya sore itu lengkap sekali kekesalannya. Sehabis berbicara dengan Sang Kekasih bukannya mengobati rindu malah menambah rasa kesalnya,ditambah lagi Rafa meninggalkan dirinya sendiri di bioskop ini.
Soal Rafa sebenarnya dia tidak terlalu ambil pusing. Dia malah merasa tidak enak karena meninggalkan Rafa ketika menerima telepon, jadi dia putuskan untuk tidak jadi kesal dengan Rafa karena pulang duluan.
"Loh!" Lila berseru karena melihat Rafa yang masih duduk di luar bioskop, tak perlu membuang waktu, dia langsung mendekati seniornya itu.
"Gue kira lo udah pulang duluan, Raf!"
"Enggak. Nanti gue dituntut sama Saga!" jawab Rafa menyebutkan nama kakak dari Lila.
Lila tertawa karena merasa geli ketika mendengar Rafa takut pada kakaknya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Rafa dan kakaknya sahabat akrab.
"Eh! Popcorn sama minuman gue mana?" tanya Lila lagi ketika menyadari tangan Rafa kosong.
Sebelah tangan Rafa terulur untuk menyerahkan minuman Lila yang tinggal seperempat cup. "Popcorn-nya gue habisin. Nunggu lo teleponan juga butuh pergerakan!"
Lila kembali tergelak. "Pergerakan mulut maksudnya?" ujarnya sembari menyamakan langkah Rafa. "Duh popcorn nya baru gue makan dikit. Udah habis aja sama lo!"
Rafa melirik sambil menjawab, "Ya udah tinggal cari hari free lagi terus gantian lo yang beli tiket dan popcorn!"
Mendengar penuturan Rafa, Lila berhenti sebentar kemudian kembali berjalan cepat untuk menyamakan langkah Rafa. "Lo ngajakin gue nonton lagi?" tanyanya kemudian tertawa renyah. "Astaga! Pantesan ya lo sama Saga cocok banget. Sama-sama jomblo menahun. Absurd banget cara kalian ngajakin cewek nge-date!"
Rafa menaikkan sebelah alisnya. "Siapa bilang gue lagi ngajakin lo nge-date? Gue lagi kasih terapi buat pasien gue yang hampir depresi karena bucin!"
"Sialan!" protes Lila dibarengi dengan memukul lengan Rafa. "Halah! Gara-gara lo bilang bucin, gue jadi ingat lagi sama si kunyuk Kevin!"
Rafa berdecak mendengar keluhan Lila yang selalu sama. "Kalian itu sebenarnya pacaran atau adu mekanik sih? Perasaan tiap hari cuma bilang kesel, kesel dan kesel."
Lila memutar bola matanya ketika sudah duduk manis di dalam mobil Rafa. "Habisnya tadi dia bilang belum bisa ketemu. Besok dia ada kunjungan kerja ke Jambi dan kayaknya sampai gue ujian. Gimana bisa gue ujian dengan tenang, Raf? Sepupu lo itu sibuknya ngalahin presiden!"
Rafa tak langsung menjawab, membiarkan Lila mengeluarkan rasa kesalnya pada Kevin. Baru ketika mereka sudah menjauh dari bioskop itu dan berhenti di lampu merah pertama, Rafa berbicara, "Apa kalau Kevin bilang lo nggak usah ikut ujian buat nyusul dia ke Jambi, lo juga nurut?"
Kening Lila berkerut. "Sorry, Raf, gimana?"
Senyuman miring tercetak jelas di wajah Rafa. "Gue bingung, motivasi lo jadi dokter itu apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Triage Of Life
General FictionTriage adalah sistem penentuan untuk melakukan tindakan yang paling prioritas sesuai tingkat kegawatdaruratan. Ada empat warna untuk memberikan derajat penilaian, merah, kuning, hijau dan hitam. Warna merah adalah kasus yang harus didahulukan karen...