Lila duduk di mobil memandangi sisi kanan kiri jalan yang sejauh mata memandang hanya terlihat pepohonan yang didominasi jati. Dengan wajah kesalnya, dia kembali melirik dua orang lelaki yang sejak kemarin menyertai dirinya sedang berada di tepi jalan, yang satu berdiri sambil memegang botol air mineral, yang satu sedang berjongkok sambil berulang kali mengeluarkan isi perutnya.
"Masih jauh nggak sih, Lil? Please, gue udah nggak kuat." keluh Saga sambil memegangi perutnya kemudian menerima botol air minum dari Rafa yang berdiri di sampingnya.
"Tuh depan, tinggal dikit lagi." jawab Lila malas.
Saga berdecak kesal, di saat dirinya sedang susah karena mabuk kendaraan, Sang adik malah membuatnya semakin pusing. Pasalnya, ini kali ketiga Lila mengatakan rumah sakit tempat dia akan magang, jaraknya tidak jauh lagi. Namun nyatanya sudah lebih dari sepuluh kilometer, belum juga nampak bangunan rumah sakitnya.
"Lagian lo kenapa sih, Ga! Bisa-bisanya mabuk kendaraan!" sela Rafa.
Saga yang merasa mual dan pusingnya sudah lumayan hilang, beranjak masuk ke mobil sambil mengumpati sahabatnya yang tidak pengertian. Bisa-bisanya masih bertanya seperti itu di saat dirinya sedang lemas karena seluruh isi lambungnya sudah habis dikeluarkan. Kemudian dia ganti memaki diri sendiri. Lagian, ada-ada saja, tiap hari naik mobil tapi bisa mabuk kendaraan begini.
"Salahkan pemerintah yang bangun jalannya berkelok-kelok terus naik turun ekstrim." jawab Saga.
Rafa memutar bola matanya tanda jengah. Ya walaupun apa yang dikatakan Saga benar, jalan menuju rumah sakit yang akan dituju Lila sebagai tempat magang, sungguh ekstrim. Naik turun dan beloknya menukik, mirip dengan jalur roller coaster. Beruntung dia tak selemah Saga.
"Pemerintah segala dibawa-bawa. Salah lo sendiri! Ngapain coba ikut ke sini? Merusak semua rencana indah gue!" Lila mengambil suara.
Rasa kesal Lila bukan hanya sebatas harus berulang kali berhenti di pinggir jalan karena Saga yang mabuk kendaraan, tapi kehadiran dua pria itu yang menjadi alasan terbesar Lila kesal. Pasalnya dia sudah menyusun banyak rencana mengenai kepindahannya ke kota gudeg ini, tapi dua pria itu mengacaukan nya dengan ikut datang ke sana.
Waktu itu, di saat teman-temannya berebut tempat magang yang lokasinya terjangkau, Lila sama sekali tidak berminat ikut rebutan. Hingga, takdir membawanya ke daerah dataran tinggi Yogyakarta, kota bagian paling ujung. Di sanalah, selama setahun ke depan, dia akan menuntaskan program kedokteran nya, sekaligus mengasingkan diri dari orang-orang yang sudah banyak melukai perasaannya akhir-akhir ini sampai nanti dia siap kembali berada di lingkungan itu.
Kegiatan magangnya secara resmi masih akan di mulai bulan depan, tapi dia sengaja datang ke kota ini lebih cepat. Alasan klasiknya, ingin mengenal lebih dulu kota ini, dan alasan pastinya, dia ingin segera menepi dari orang-orang terdekatnya. Walaupun secara lahir, sudah menerima dan memaafkan, tapi batinnya tetap perlu disembuhkan.
Rafa segera menginjak gasnya lagi sebelum kakak beradik ini semakin lancar berdebat.
"Yang itu bukan, Lil?" Rafa memelankan mobilnya ketika sepasang matanya menangkap sebuah papan nama besar bertuliskan rumah sakit yang Lila infokan sebelumnya.
"Iya." jawabnya singkat.
Lila bersiap turun setelah Rafa memarkirkan mobilnya. "Lo tunggu sini aja, Raf! Tungguin itu soulmate nya. Gue ke dalam sebentar."
Rafa bergidik ngeri ketika mendengar Lila menyebut Saga yang tengah tertidur sebagai soulmate nya. Tapi setelah melihat gadis itu menjauh, dia berdecak diikuti tawa pelan. Melihat kakak beradik ini memang harus dengan mata batin, kalau dilihat secara kasat mata mereka lebih mirip seperti musuh bebuyutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triage Of Life
General FictionTriage adalah sistem penentuan untuk melakukan tindakan yang paling prioritas sesuai tingkat kegawatdaruratan. Ada empat warna untuk memberikan derajat penilaian, merah, kuning, hijau dan hitam. Warna merah adalah kasus yang harus didahulukan karen...