Diba capek Gus ... Diba pengeng nyerah ....
"Gus, hari ini jadi kan?"
"Maaf, hari ini gue sibuk. Besok aja."
"Tap-"
"Adiba ...." Diba menghembuskan nafas berat. Padahal kemarin Izar sudah berjanji untuk mengantarnya check up, tapi waktu hari-H nya malah sibuk dan mengingkari janjinya.
"Yaudah, ga papa." Pasrah Diba seraya melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Izar menatap Diba saat Diba hanya memakai sebagian dari mukenahnya. "Lo shalat pakai setengah mukenah doang?" tanya Izar membuat Diba mengerutkan keningnya. "kan nanti roknya dipakai pas di masjid."
"Hari ini lo shalat di kamar aja."
"Lhoh kenapa? Bukannya shalat berjamaah pahalanya lebih besar? Ya mending di masjid ajalah," entah keberanian dari mana Diba bisa menentang perintah dari Izar.
"Lo masih sakit."
"Diba udah sembuh."
"Lo shalat di kamar aja."
"Kenapa? Diba maunya shalat di masjid."
"Gue ga mau lo tambah sakit."
Deg.
Tiba-tiba pikiran Diba mendadak kosong. Seakan bumi berhenti berputar, jantungnya kini sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ini, kali pertama Izar perhatian padanya. Rasanya ... argh!
Tetapi, Diba sebisa mungkin tetap mengontrol ekspresinya seperti tidak terjadi apa-apa. "Amanah Abi ya?" Diba menebaknya. Biasanya, jika Izar bersikap perhatian, pasti itu adalah amanah dari Abi. Mana mungkin Izar bersikap lembut dan perhatian padanya. Haha, itu sangat mustahil.
Izar mengangguk. Menandakan bahwa tebakan Diba adalah benar. Diba hanya tersenyum tipis, kapan? Kapan Izar bisa mencintainya? Jika tidak bisa, setidaknya, kapan Izar bisa menghargainya sebagai seorang istri? Ya Allah ... hati Diba sakit ....
"Gue berangkat, assalamualaikum." Diba mengangguk, mengulurkan tangannya berharap Izar menerima ulurannya dan membiarkan Diba mencium singkat punggung tangan Izar sebelum berangkat. Tetapi ... ekspetasi Diba terlalu tinggi, jangankan menerima uluran tangan Diba, meliriknya sedikit saja tidak. Setelah mengatakan itu, Izar langsung berbalik dan menutup pintu kamar.
"Waalaikumsalam," jawab Diba lirih.
Diba mulai mengelar sajadahnya dan melaksanakan shalat tahajud. Selesai dengan ibadah dan doa-doanya, Diba melipat kembali sajadah dan mukenahnya. Keluar dari kamar Izar dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Mendudukkan tubuhnya di kursi meja belajar, lalu mengambil buku diary dan bolpoint. Diba mulai menulis, meluapkan semua rasa sesak yang ada di dalam dadanya dengan sebuah tulisan buku diary.
Ya Allah ... kapan Diba bisa bahagia? Apa target waktu ujian Diba belum selesai Ya Rabb? Padahal, Diba udah capek banget. Rasanya pengen nyerah, kadang pengen bunuh diri, tapi ... impian Diba adalah ingin bahagia sebelum meninggal. Tapi sampai sekarang, Diba belum juga menemukan titik kebahagiaan Diba.
Diba kangen sama Reza Ya Rabb ... Cuma Reza, yang selalu bikin Diba tertawa lepas sampai lupa sama masalah. Cuma Reza, satu-satunya cowok yang ga pernah bentak Diba. Cuma Reza, cowok yang selalu berusaha nurutin semua kemauan Diba. Cuma Reza, cowok yang selalu setia sama Diba, baik suka maupun duka.
Za ... baik-baik ya, di sana. Sekarang gue emang ga tau gimana kabar lo. Lo lagi bahagia, atau lagi hancur karena Papa lo itu. Andai gue nurut sama lo dulu, buat ga pergi nyusul lo ke club, pasti gue ga berakhir kayak gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Bukan Dia! [END]
Teen FictionCerita ini adalah lanjutan dari Salat Tarawih, jika mau lebih jelas, bisa baca Salat Tarawih dulu ^^ Muhammad Abhizar Albirru, seorang gus kelas dua belas, menyukai santriwati yang berstatus sebagai adik kelasnya. Tapi, masih di usianya yang menginj...