6. Manja

186 16 0
                                    

Kalau setiap kamu sakit jadi manja gini, aku mau kamu sakit terus Gus. Hehe, iya aku tau aku jahat, tapi aku suka.

~Adiba Khanza Ranisa~

Sendari tadi, Diba hanya terus menempel pada Izar. Bahkan terus mengekori lelaki itu ke mana pun ia pergi. Bukan tanpa alasan, karena orangtuanya yang terus menatapnya dengan tatapan aneh. Itu membuat Diba ketakutan.

"Lo kenapa ngikut gue terus sih!" sentak Izar seraya berbisik ke arah Diba.

"Diba takut ...." Cicit Diba.

"Ck, lo ketemu orangtua, bukan ketemu setan. Udah sana," Diba menggeleng kuat saat Izar memaksanya untuk mendekati kedua orangtuanya.

"Sayang ... sini dong, Bunda sama Ayah kangen tau." Diba refleks menoleh, apa tadi? Kangen? Diba sangat tau, itu semua hanya pura-pura.

Diba beralih menatap Izar, lelaki itu seperti terus menyuruhnya untuk segera pergi ke sana. Lalu beralih menatap Abi, Abi hanya tersenyum dan mengangguk.

Diba menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Berjalan pelan menghampiri kedua orangtuanya.

"Duduk dong, aduh ... anak Bunda ini lucu banget."

"Ya Allah ...." Batin Diba seraya memejamkan matanya sejenak.

Diba mendudukkan tubuhnya di tengah-tengah Ayah dan Bundanya. Pandangannya terus menunduk, menatap kakinya yang bergemetar.

Tiba-tiba Diba merasakan rasa sakit di bagian punggungnya. Benar kan dugaannya, orangtuanya itu hanya berpura-pura.

Perlahan Bunda mendekat, "Tangan Bunda sebenarnya udah gatel karena ga nyiksa kamu, tapi karena lagi ada Kyai sama Gus, Bunda cuma bisa jiwit kamu, biar Bunda lega aja."

Diba memejamkan matanya, kali ini tidak apa-apa. Jiwitan, itu hanya sebuah rasa sakit kecil bagi Diba. Karena yang paling sering ia dapat adalah tamparan, tendangan, dan pecutan.

"Kok kalian ga tinggal seatap? Bunda segera pengen punya cucu dari Izar sendiri lhoh,"

Diba sedikit tersentak, tidak-tidak, jika ia tinggal seatap hanya dengan Izar, dan di saat Izar pergi ... ia sendirian di rumah. Tidak, Diba tidak mau. Bundanya itu begitu licik.

"Saya sudah menyarankan seperti itu Rin, tapi kata anak saya, tinggal di Ndalem untuk menemani saya." Jawab Kyai masih dengan senyumannya.

"Iya Bun, saya tidak tega jika harus meninggalkan Abi sendirian."

"Abdi Ndalem?"

"Selama ini kami tidak memakai Abdi Ndalem Yah,"

"Pakai saja, nanti biar Kyai bersama Abdi Ndalem, dan kamu seatap dengan Diba. Bundamu ini pengen cepat-cepat punya cucu." Ucap Ayah.

Izar terdiam dan menunduk. Melihat itu, Diba langsung menatap Bundanya, yang dibalas tatapan sinis dari beliau. "Bunda, Diba masih kelas sebelas lhoh," entah keberanian dari mana Diba berani mengatakan itu. Bunda mendekat dan berbisik, "Bunda ga peduli. Lagian kan kamu juga sudah kotor,"

"Izar, nanti kamu cari Abdi Ndalem ya. Kamu pindah ke rumah aja sama Diba."

"Tapi Bi-"

Kamu Bukan Dia! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang