18. Terbongkar

200 16 0
                                    

"Diba ... cepetan!"

"Iya-iya ... sabar kenapa sih?"

"Sabar-sabar, ini sudah jam tujuh lebih, kita sudah mau telat."

"Yaelah, telat doang. Udah biasa aku mah di sekolah dulu."

"Itu kamu, bukan aku. Ayok," balas Izar seraya mengandeng tangan Diba agar langkah gadis itu juga bisa dipercepat.

"Ehh ...." Diba melepas tangan Izar. "udah rapi belum?"

Izar berdecak kesal, "Udah!" Izar kembali mengandeng tangan Diba, tapi lagi-lagi Diba melepasnya. "udah cantik belum?"

Izar hanya diam. Ia benar-benar buru-buru saat ini, dan bisa-bisanya Diba membuatnya emosi. "Kalau diam, berarti udah ya?" tebak Diba. Bukannya menjawab, Izar kembali mengandeng tangan Diba untuk diajak keluar. Namun lagi-lagi Diba melepasnya.

"Eh!" Izar menarik nafasnya dalam-dalam, berbalik dan menatap tajam ke arah Diba. "apa lagi?!" tanyanya kesal.

Diba mengigit bibir bawahnya, "Udah cinta sama aku belum?"

"Gak tau." jawab Izar seraya kembali mengandeng tangan Diba. Kali ini lebih erat karena takut Diba akan melepasnya dan membuatnya semakin emosi. Jujur ia masih marah soal motornya yang dihancurkan, tapi ya mau bagaimana lagi? Ancaman dari Abinya sunguh mengerikan bagi Izar, karena waktu Diba meninggalkannya dulu, Abi benar-benar tidak memperdulikannya. Dan hidupnya benar-benar kacau saat itu.

"Gus tungguin ih!" sentak Diba saat Izar berjalan dengan sangat cepat di depannya. Sedangkan ia tertinggal jauh di belakang.

"Gus ...." renggek Diba membuat Izar berhenti. Menoleh ke belakang, "cepet lari!" Diba mengerucutkan bibirnya kesal, dengan sekuat tenaga ia berlari menuju Izar.

"Capek ... kenapa gak naik motor aja sih?" keluhnya.

"Deket. Gak perlu motor."

Diba berdecak. "Lihat deh, aku nemu uang tadi di jalan. Lima puluh ribu, lumayan buat beli seblak."

Izar melirik sebentar, "Masukin ke kotak amal masjid aja nanti."

Diba mengerucut, "Yah ... tapi kan-"

"Nurut." potong Izar. Kemudian, tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Izar terud berjalan tetapi sesekali ia juga melirik langkah kaki Diba. Sebisa mungkin ia menyamakan langkahnya agar Diba tidak tertinggal lagi di belakang. Lalu, ia mengambil ponsel yang berdering dari sakunya, mengangkat telepon itu sambil berjalan beriringan dengan Diba. Sementara Diba sibuk sendiri dengan uang yang sedari tadi ia amati.

"Uangnya palsu gak ya?" batinnya sebari membolak-balik uang lima puluh ribu itu.

"Masa sih harus dimasukin ke amal? Tau gitu tadi sembunyiin aja, gak usah kasih tau Gus Izar." lanjutnya kesal.

Ia membalik lagi uangnya, dan tanpa sengaja membuat uang itu terbang terbawa angin. Diba mengikuti arah terbangnya, lalu berlari mengejar tanpa menyadari jika kini ia berada di tengah jalan raya.

Uang itu terjatuh. Diba berjongkok dan mengambilnya dengan senyuman. "Mau lari ke mana lagi hm?" ancam Diba pada uang itu.

Tiinn ....

Kamu Bukan Dia! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang