64. Dua Bocah

2.4K 169 8
                                    

Mahesa Erlangga Sadam nampak memberikan pemandangan baru bagi orang sekitar dengan berbelanja di mini market—tidak seorang diri lagi.

Membawa serta kedua putranya, Erlan mengikuti Arga dan Irgi yang sedang menenteng keranjang sambil memilih makanan ringan yang akan mereka beli.

"Yang ini boleh, Yah?" tanya Irgi sambil mengangkat keripik singkong.

"Boleh. Ambil apa saja." Erlan berucap.

"Punya aku ini aja, sekarang mau susu." Arga mengakhiri pilihannya dengan memasukan beberapa produk makanan ringan.

Anak laki-laki ikut kemudian sedikit berlari ke arah rak susu. Lantas, Erlan mengikuti karena rak yang dituju melebihi tinggi dari Arga. Jangan sampai anaknya memaksa untuk mengambil sendiri.

"Yang mana?" tanya Erlan.

Arga menunjuk kemasan berwarna hijau. Erlan segera mengambilkan. "Nggak, nggak, jangan susu coklat."

"Aku coklat!" sahut Irgi sambil menarik keranjang yang terisi penuh.

"Aku putih!" Arga berucap lagi.

Erlan mengambil dua kotak susu dengan warna yang berbeda. "Kok, beda gini?"

"Aku nggak suka rasa coklat," kata Arga.

"Aku nggak suka yang putih."

Erlan tertawa sumbang. Meskipun kembar, kedua putranya memiliki selera yang berbeda. Ia bisa menerka betapa repotnya Nana mengurusi dua anak ini.

Apalagi, Nana termasuk perempuan yang gaduh dan tak boleh dibantah. Terbayang, pasti beberapa kali Nana pernah meneriaki anak-anaknya.

"Bunda juga sering beliin yang beda?" tanya Erlan penasaran.

Keduanya mengangguk serentak. Masih banyak yang harus Erlan cari tahu tentang anak-anaknya. Mulai dari yang disukai sampai yang tak disukai.

"Kalau warna kesukaan, beda juga?" Bertanya lagi.

Arga dan Irgi mengangguk lagi. "Arga sukanya merah, kalau aku biru tua," jawab Irgi. "Ayah banyak uang, 'kan?"

Erlan melongo karena pertanyaan itu. Masih kecil, kenapa putranya malah mengambil topik uang sebagai perbincangan?

Karena tak ingin membuat Irgi kecewa, Erlan mengangguk apa adanya. Ia memang punya banyak uang, tetapi bukan sepenuhnya punya Erlan. Ia juga tidak pernah menganggap bahwa harta yang sekarang dinikmati adalah miliknya sendiri.

"Kalau udah besar nanti, beliin Irgi mobil, ya," pinta Irgi polos.

Erlan tertawa sumbang. Jangankan mobil, jika Irgi meminta pesawat, ia akan berusaha memenuhinya. "Iya, entar Ayah beliin."

"Yes! Arga, minta barang apa kek ke Ayah."

Arga menggeleng. "Aku cuma mau keliling dunia."

Erlan tersenyum. "Oke, Ayah kabulkan."

Bukannya apa, atas pinta Nana waktu itu, Erlan sudah menabung uangnya untuk bisa berlibur bersama. Walau saat itu, ia tak tahu nasib akan membawanya kembali lagi bertemu dengan wanitanya atau tidak.

Erlan hanya percaya, sekejam apa pun takdir, pasti ada waktu terindah yang akan membawa mereka bertemu lagi.

Seperti saat ini. Arga dan Irgi adalah langkah awal mereka bisa bertemu. Sejak kedua putranya datang, mimpi yang belum terwujud itu seakan memiliki titik terang.

Mata Erlan tak sengaja melihat produk yang membawanya ke masa lalu. Susu ibu hamil. Ia tersenyum miris.

Tujuh tahun lalu, ia sempat membelikan untuk Nana, tetapi belum sempat meminumnya, mereka sudah terpisah jarak dan waktu.

Luka itu teriris lagi. Janin yang didambakannya dulu, sekarang sudah berdiri tegap di hadapannya. Mereka terlahir tanpa pernah digendong olehnya.

Ia berusaha memindahkan fokus. Tidak baik terus tenggelam dalam kesedihan, sedang kebahagian sudah hadir di depan mata.

"Udah, ini aja? Ayah, bayar dulu." Erlan membawa keranjang yang berisi penuh belanjaan anaknya ke kasir.

Meletakan di atas meja, Erlan sesekali melirik ke belakang di mana kedua putranya menunggu.

Selesai membayar, Erlan segera menggiring dua bocah itu untuk keluar mini market.

"Habis ini kita ke mana?" tanya Irgi saat mereka menuju mobil, anak paling cerewet.

Erlan membukakan pintu belakang. "Ke rumah Om Dimas Alviano."

"Siapa itu?" Kali ini giliran Arga bertanya, saat anak itu menyusul Irgi untuk masuk mobil.

"Teman Ayah. Di sana dulu selama Ayah kerja, ya." Lalu menutup pintu mobil, kemudian mengitari kendaraan itu untuk menuju ke kursi kemudi.

Baru saja duduk, Irgi sudah mendekatinya. Anak itu menempelkan dagu pada kursi kemudi. "Ayah mau kerja?"

Erlan mengangguk. Sepertinya, ia harus membiasakan diri untuk menjawab tiap pertanyaan anak-anaknya. Memang sedikit repot, tetapi Erlan juga tidak bisa memarahi Arga dan Irgi.

"Emang kantolnya di mana?" Lagi, Arga bertanya.

Sepertinya, si sulung sudah mau menganggap kehadirannya. Mengingat di pertemuan pertama, ia sudah disudutkan dengan pertanyaan yang tak bisa dijawab.

Ternyata, semudah ini mengambil hati anak sendiri. "Itu." Erlan menunjuk gedung yang terlihat di ujung hidung.

Ia segera menyalakan mesin mobil, lalu meninggalkan tempat itu. Saat ini, jalanan agak sedikit lengang.

"Itu kantor Ayah?" tanya Irgi saat melewati gedung yang ditunjuknya tadi.

"Iya."

"Waaah," kagum kedua putranya dari bangku belakang.

Erlan hanya bisa terkekeh sambil fokus ke jalanan. Namanya anak kecil, mereka selalu saja kagum dengan hal-hal yang terlihat biasa bagi orang dewasa.

Jika ingin protes pada hidup, Erlan tak mau mengakui bahwa itu adalah kantornya. Pekerjaannya di dalam sana hanya sebagai boneka pencegah kemiskinan keluarga.

Ia berdiri di sana hanya untuk mempertahankan kekuatan ibunya, bukan untuk diri sendiri. Kekuasaannya di sana sama sekali bukan miliknya. Namun, Erlan tidak mungkin mengatakan itu pada anak sendiri, saat mereka tengah kagum seperti ini.

Cepat atau lambat Arga dan Irgi akan tahu betapa payahnya pria yang dipanggil ayah ini. Tidak seperti yang  mereka kagumi.

"Kapan-kapan ajak aku dan Aga masuk sana, dong, Yah," pinta Irgi, "gedungnya besar banget, ruangan ayah pasti banyak."

Erlan hampir tersedak tawanya sendiri. "Gedungnya besar, bukan berarti ruangan untuk ayah banyak. Cuma satu, kok."

"Selius? Kenapa cuma satu? Tapi besal, 'kan?" Kalau tanpa huruf R begini, tidak perlu menoleh—Erlan tahu siapa yang bicara.

"Iya."

"Waw! Bisa main kejal-kejalan di luangannya dong?"

"Bisa," jawab Erlan.

"Kalau gitu, kita di sana aja, nggak usah dititip ke Om Dino!" sahut Irgi.

Erlan menghela napas. Seketika, ia menyesal telah menjawab tiap kekaguman anaknya. "Kalau kalian main, Ayah nggak bisa kerja dong."

Meskipun di kantor ia tidak memiliki pekerjaan, bukan berarti Erlan bisa membawa Arga dan Irgi ke sana. Kebahagian ini baru ia rasakan, Erlan hanya tak ingin dirampas lagi.

Semua orang di kantor itu adalah mata-mata. Erlan juga tidak yakin jika gerakannya di luar kantor tidak diawasi. Untuk itu, ia amat hati-hati.

Membawa Arga dan Irgi di bawah pengawasan Dino, dan ia akan kembali ke kantor seperti biasanya itu lebih aman. Mereka akan terkecoh dengan sikap Erlan yang biasa saja.

"Entar di sana jangan nakal, ya. Jangan rebutan mainan sama adiknya." Erlan menasihati keduanya.

_____________

17.05.22

Hai haiiiii 😄

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang