57. Pengakuan Nana

5.3K 440 89
                                    

Membuka pintu apartemen dengan tergesa, Erlan tidak bisa menenangkan pikirannya setelah melihat video tersebut.

Mobil ia parkir asal di basemen, membuat pak satpam geleng-geleng kepala. Tujuannya sekarang adalah Nana.

Erlan ingat semuanya, seluruh sentuhan yang ia berikan kepada Nana. Penuh gairah, bahkan perempuan itu dengan pasrah mengikuti keinginan Erlan.

Itu bukan sifat asli Nana. Pantas saja, Erlan merasa pernah berada di posisi sangat dekat dengan Nana saat mereka berdua tidur bersama di atas karpet ruang TV.

Erlan pernah menanyakan pada Nana, tetapi perempuan itu bungkam. Mengapa harus tutup mulut? Berani saja ceritakan semuanya, Erlan sudah berusaha bersikap manis pada perempuan itu.

Pintu terbuka, tidak perlu menoleh ke mana-mana lagi, karena Nana kini sedang duduk di sofa, sambil menoleh padanya.

Terlihat jelas, perempuan itu terkejut melihatnya. Erlan tepiskan itu dulu, ia harus segera menyeret Nana ke ruang pribadinya, agar Uchi tidak mendengarkan ini.

Meskipun ia tahu, adiknya itu memang sudah tidur. Karena yang ia dapati hanya Nana seorang di ruangan tersebut.

Erlan segera melangkah ke arah Nana. Menarik tangan itu, lalu membawa Nana ke kamarnya.

"Mas?"

Suara itu tak diindahkannya. Saat ini, ia sedang tidak emosi pada Nana. Sungguh, Erlan tidak marah. Ia hanya ingin Nana mengaku padanya agar Erlan juga bisa berperan untuk menguatkan perempuan itu.

Erlan membawa Nana duduk di tempat tidurnya. Setelah itu, ia berbalik lagi untuk mengunci pintu kamar.

"Loh?" Nana berdiri.

Jelas saja perempuan itu akan protes. Erlan terlalu frontal. Nana pasti berpikir, bahwa ia sekarang sedang ingin melepas hawa nafsu.

"Duduk," titah Erlan.

Nana menuruti, duduk kembali dengan mata tersirat ketakutan. Erlan berjongkok di depan Nana, mengumpulkan nyawa terlebih dahulu agar ia bisa bicara sebisa mungkin.

Erlan memejamkan mata, helaan napas berkali-kali keluar dari mulutnya. Bukan karena frustrasi saja, ia sangat tergesa-gesa sampai lupa caranya untuk bernapas.

Memberanikan diri menatap mata Nana. "Kenapa nggak bilang?"

"Hm?"

Ia tertegun sebentar karena respons Nana. Benar. Erlan tidak tahu cara untuk memulai pembicaraan, jelas saja Nana tidak mengerti apa maksudnya. Ia memang makhluk yang diciptakan tanpa rasa peka.

Selama Nana menghindar, Erlan bahkan tidak menyadari bahwa perubahan itu terjadi karena ulahnya sendiri.

Tubuh itu ambruk di depan Nana, Erlan tidak bisa menopang lagi dengan kaki. Ia memutuskan untuk duduk dengan tangan yang mengerjakan tugas masing-masing di samping tubuhnya.

Lantai yang tersentuh tangannya sangat dingin, seolah menariknya untuk kembali sadar agar segera menyelesaikan tugas.

Nana ikut turun, duduk di lantai bersamanya. "Mas nggak apa-apa?"

"Gue bakal baik-baik aja kalau lo ngaku, kalau lo ingetin gue," keluh Erlan.

Perempuan itu menggigit bibirnya. Terlihat bingung dengan apa yang dikatakan Erlan. Raut wajah tetap memperlihatkan ketakutan.

"Na, gue apain lo malam itu? Kenapa lo nggak bilang?"

Ya, dua pertanyaan itu mampu membuat Nana membeku dengan mata yang membulat. Perempuan itu mencuri tiap detik untuk melirik ke arah lain, menghindari tatapan Erlan.

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang