32. Nana yang Sibuk

2.9K 279 25
                                    

Entah sudah berapa kali Nana mengerang sangking kesalnya. Wajah ia benamkan di atas meja, dengan laptop yang masih menyala di hadapannya. Kertas berserakan, dan tangan masih menggenggam pulpen untuk menulis materi.

Tugas pertama di awal kuliah. Nana pikir ini akan mudah, ternyata ia salah besar. Padahal, saat pertama kali dosen mengatakan akan memberikan tugas, Nana dengan semangat empat lima mencatat di bukunya.

Namun, saat mengerjakan tugas tersebut, seolah jiwa dan raganya terkuras semua. Isi otak kacau balau, mungkin sekarang otak kiri dan kanannya sedang terlibat pertikaian. Tak ada yang bisa Nana lakukan, kecuali menyerah.

Kemarin, saat Dino mengatakan bahwa Erlan menaruh harapan besar padanya, Nana berjanji pada diri sendiri untuk serius kuliah. Namun, baru tugas pertama ia sudah hampir menyerah. Bukan cuma hampir, Nana tumbang di perang pertamanya, seolah tak ingin bangkit lagi.

Terdengar kekehan dari singgel sofa yang menghadap balkon. Ada Erlan di sana, lelaki itu duduk membelakanginya sambil menyesap kopi.

"Udah nyerah?" tanya Erlan.

Mata Nana tajam melirik Erlan. Ia seolah diremehkan di sini, tetapi mau bagaimana lagi? Nana memang sudah ingin menyerah.

"Susah," keluhnya. Paling tidak, Erlan mau membatu?

Lelaki itu malah berdecak. "Tinggal kopi aja di internet, Dino udah ngajarin lo, 'kan?"

"Kalau gitu doang saya tahu."

"Lah, terus apa susahnya?"

Nana cemberut. "Dosennya nanya pendapat menurut saya."

Erlan tertawa mengejek. "Gitu doang, Nana ...!"

"Ya, saya takut salah, laaaah."

Lelaki itu menoleh padanya. "Pendapat lo, ya, pendapat lo. Dosen nggak bakal nyalahin, kar'na itu pendapat lo. Salah sendiri dia ngasih pertanyaan kayak gitu."

"Udahlah, Mas nggak bakalan ngerti," kesal Nana, ia merasa dipermainkan oleh Erlan.

Tidak perlu menoleh lagi pada lelaki itu. Nana tahu, Erlan sedang menampakan wajah tak enak dipandang. Dari dulu juga, tampang itu memang tidak berubah.

Ada saatnya yang benar-benar tidak enak dilihat. Saat Erlan ngotot dan meledek. Nah, seperti sekarang ini. Daripada sakit hati, lebih baik Nana menghindar lebih dulu.

Suara benda diletakan di atas meja terdengar. Nana menoleh, Uchi duduk di sampingnya sambil membawa beberapa buku.

Pandangan Nana jatuh pada gelas berisi susu di atas meja. Uchi pasti membuatkan untuknya.

"Minum susu dulu, Kak, biar rileks," tawar Uchi.

Terdengar decakan lagi dari arah balkon. "Halah ... mau minum susu seribu liter juga nggak bakal encer otaknya, Uchi."

"Iiih, Abang tuh ...!"

Nana segera meraup gelas tersebut, lalu menandaskan isinya seketika. Ia sangat percaya dengan apa yang Uchi katakan. Anak orang kaya—pintar, itu karena mereka minum susu setiap hari. Dibandingkan dengannya orang kampung. Mungkin bisa minum susu, kalau ia dengan senang hati meminta langsung pada sapi.

Uchi tersenyum tipis padanya. "Nggak usah dengerin abang."

Nana mengangguk mantap, lalu segera menghadap laptop lagi. Pertarungan dimulai. Ia tahu, Erlan sedang mengawasinya sekarang, Nana tidak ingin ditertawakan untuk keratusan kalinya.

Biarkan kali ini ia menang. Sekali ini saja. Nana ingin membuka mata Erlan bahwa ia bukanlah orang payah.

Mulai memegang pulpen, jari telunjuk kirinya ia gunakan untuk bekerja di atas laptop. Jujur, Nana ingin sekali berteriak bahwa ia tidak bisa. Namun, saat melirik ke arah Uchi, Nana bisa melihat bagaimana perempuan itu juga sedang serius mengerjakan tugas. Nana tak boleh kalah dari Uchi yang masih berusia 17 tahun.

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang