20. Gantungan Kunci

2.9K 308 16
                                    

Katakan Erlan jilat ludah sendiri dengan mengatakan Nana seperti zombi, sedang saat ini ia juga bangun dengan keadaan mata masih tertutup rapat.

Jika Erlan tak bangun, maka ia akan terlambat masuk kantor. Untuk itu, ia sekuat tenaga melangkah keluar kamar, sambil mencoba membuka mata sedikit demi sedikit. Niatnya, ia akan membasuh wajah di wastafel dapur, lalu segera menuju meja makan untuk sarapan.

"Lo udah masak, 'kan, Na?" tanyanya, saat tak sengaja menangkap bayangan Nana yang berdiri di dekat kompor.

Erlan menbasuh wajah. Ia berusaha tersadar dari matanya yang masih mengajak untuk tertutup kembali. Setelah selesai, ia menuju meja makan.

Matanya belum juga bersahabat, sampai pantat mendarat di kursi. Erlan terus melawan kantuk.

"Yahu ...," sapa seorang gadis yang ada di hadapannya.

Itu Nana, Erlan tahu. Perempuan itu menyapa agar ia bisa segera membuka mata.

Sambil menopang dagu, orang di hadapannya tersenyum jahil. Erlan segera tersadar. Jelas, ia bisa melihat sebuah perbedaan. Ini bukan Nana, tetapi adiknya, Uchi.

"Uchi?" kejutnya.

Perempuan itu tertawa kecil. Segera Erlan mengabsen isi ruangan. Nana masih di tempat tadi, berdiri sambil menatapnya pasrah.

Erlan menegang di tempat. Secepat ini rahasianya terungkap? "Ngapain ke sini?"

"Jengukin Abang." Dengan santai, Uchi menyendok nasi ke piringnya.

"Pulang, sana."

"Aku mau sarapan dulu," jawab Uchi santai, sambil memilih lauk yang akan ia makan.

Sadar bahwa Nana masih berdiri membisu, Uchi menoleh ke perempuan itu. Andai saja Nana itu hantu, pasti adiknya ini tak akan bisa melihat gadis kampung tersebut.

"Kakak nggak makan? Sini, gabung aja," ajak Uchi.

"Dek, kamu pulang aja, ya?" Erlan masih membujuk.

Uchi cemberut. "Iiih, baru juga nyampe. Tenang aja, aku bisa jaga rahasia." Lalu tersenyum semanis mungkin.

"Abang nggak percaya."

"Percaya, dong, orang kita udah sepakat waktu itu. Abang lupa, ya?" Wajah Uchi memelas.

Jelas saja Erlan ingat kejadian itu. Namun, untuk hari ini, mungkin ia akan mengingat sepanjang hidupnya. Awal mula malapetaka.

"Kakak, kok, diam di situ doang? Sini, duduk sebelah Uchi."

Entah mengapa, rasanya Erlan ingin bunuh diri dengan terjun ke bawah—dari lantai apartemennya. Bunuh saja ia sekarang juga, jangan sakiti secara perlahan seperti saat ini.

"Ayo, dong ...," bujuk Uchi pada Nana, "Uchi ganggu, ya?"

"Iya," jawab kilat Erlan.

Uchi melirik tajam. "Idih, aku nggak nanya sama Abang."

Lagi-lagi, Erlan menghela napas. Ia sangat tak menyangka pagi ini terjadi. "Uchi dengerin Abang, ya ...."

Adiknya malah menutup kedua telinga dengan tangan. "Aku nggak mau denger, sampai kakaknya duduk di samping aku."

Erlan memberi kode pada Nana untuk menuruti kata Uchi.

Nana mendekat, lalu menarik kursi di samping adiknya itu. Di sini, kegelisahan Erlan makin memuncak.

Nana dan Uchi duduk berdekatan, ia tak menjamin mulut Nana bisa diajak berteman.

"Udah," ucap Erlan, saat Nana mendaratkan pantat di kursi samping Uchi.

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang