19. Popolulu

3.1K 324 25
                                    

"Puuus ...."

Erlan menghela napas. Sejak tadi, yang terdengar hanya suara Nana—mengajak kucing makan.

Pasrah, itulah yang Erlan lakukan—tatkala Nana memperkenalkan kucing barunya. Ia sudah melakukan sebisa mungkin untuk mengusir hewan berbulu tersebut dari apartemen. Namun, Nana terlalu susah dilawan.

Akhirnya, sudah dua hari ini Erlan ditemani bulu kucing yang menempel di mana-mana. Erlan memang tidak mempunyai alergi kucing, tetapi itu tetap saja menganggu pakaiannya yang berwarna hitam. Apalagi, jas untuk ke kantor.

"Puuus ...." Nana lewat di depannya, sambil membawa tempat makan kucing.

Erlan berdecak. Jelas, ia sangat risi dengan aktivitas baru Nana ini. "Lo berisik banget, sumpah! Dari tadi pus, pus, pus."

"Yah, orang kucingnya belum punya nama," balas Nana.

"Gue nggak nanyain itu!"

Kening Nana hampir menyatu. "Nanya, nggak. Sewot, iya."

Mendapatkan ungkapan itu, Erlan berusaha menahan emosinya. "Lo udah berani banget, ya, lawan gue!"

Bukannya takut pada Erlan, Nana malah meledek dengan menjulurkan lidah. "Hah, wajar kalau Mas marah tiap hari, orang mantannya udah tunangan. Ciye ... yang galau."

Erlan menelan ludah. Ia kalah telak. Namun, daripada memikirkan kekalahannya, lebih baik ia bertanya dari mana Nana bisa mengetahui berita itu. "Dari mana lo tahu?" Ya, ini lebih membuat penasaran.

"Loh, kemarin, kan, saya ngintipin group chat Mas dari belakang," aku perempuan itu.

"Ooooh, lo sekarang seneng banget ngintipin kerjaan gue, ya?"

"Dih, yang kayak gitu dibilang kerja? Orang Masnya di-bully," cibir Nana.

Erlan menghela napas, sambil melempar punggungnya ke sandaran sofa. Matanya menatap ke arah plafon. "Lo bener," lirihnya.

Tak ada tanggapan dari Nana, Erlan juga tidak berharap penuh bisa dapat respons dari perempuan itu. Apalagi, ini pembahasan paling sensitif untuk dirinya, Nana tak perlu tahu.

"Mereka cuma iri aja, percaya, deh," ucap Nana, bermaksud menghiburnya.

Erlan menoleh pada perempuan itu. Nana sibuk mengelus si kucing—penghuni baru apartemennya.

"Nama mantan Mas siapa?" tanya Nana, sambil menoleh padanya.

Mata mereka bertemu. Erlan segera mengalihkan padangan, tentu saja karena pertanyaan itu. Menjawab sambil bertatapan akan sangat bahaya. Nana mungkin bisa membaca apa yang tersirat di matanya.

Ya, perempuan itu bukanlah cenayang hingga bisa membaca pikiran hanya dengan bertatapan saja. Akan tetapi, penerawangan asal dari Nana akan lebih berbahaya. Ia pasti mendapatkan ledekan lagi dari Nana dengan membawa sang mantan ke pembahasan mereka.

"Lala."

Nana bergumam, membuat Erlan seketika menoleh. Ini dia, sebuah serangan. "Ya, sudah, namain saja dia Puslulu."

"Hah?" Erlan tak mengerti.

Nana menoleh lagi. "Dari pertama kali kucingnya di sini, saya panggilnya Pus doang. Nah, kalau Lulu, plesetan dari nama Lala." Diakhiri dengan kekehan.

"Nggak lucu dan nggak penting, sekalian lo kasih nama Mpos!"

"Artinya?" tanya Nana.

"Emang harus, pakek arti?" tanya Erlan.

Nana mengangguk.

"Mpos artinya mampus. Diplesetin." Erlan mencoba menjelaskan dengan sedikit pengetahuannya.

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang