Ini udah dua hari sejak Natusha memilih nginep dulu dirumah mama. Gue sempet kesana untuk mastiin keadaan dia, tapi siempunya malah ngurung diri dikamar nggak mau nemuin gue. Mama cuma bilang buat sabar apalah segala macem. Padahal yang jadi fokus gue bukan sedihnya, tapi keadaan mental Natusha.
Doi bukan tipe yang bakal ngamuk begitu tau ada orang-orang yang menghina dia. Gue seratus persen yakin, dia dikamar cuma ngalamun aja tiap malemnya. Dan selama itu juga gue bener-bener udah pasrah banget pasal nasib si kacang gimana. Karena kalau ngeliat tabiat Natusha, doi kalo lagi sedih cenderung 'menikmati' banget kesedihannya. Sampe kadang lupa makan. Semoga aja anak gue nggak kelaperan.
Hari ini rencananya gue mau ngebahas soal peralihan resort sama Kenio. Setelah bel pulang sekolah dibunyikan, gue langsung melajukan kuda besi seksi hitam gue ini ke sebuah rumah elit di kawasan Jakarta. Doi lagi dirumah, males kerja paling.
Begitu sampai, sosok pertama yang menyambut gue adalah, si jalang kesayangan Kenio. Sekaligus sahabat deket bunda. Ria.
Cewek yang lagi nyiram bunga itu dengan nggak tahu malunya pasang senyum lebar di depan gue, "Gimana kabar Natusha?" Kata dia berbasa basi. Jatuhnya seakan ngejek gue yang lagi ada masalah sama Natusha.
Merasa nggak ada jawaban, doi kembali masang senyum tenang lagi. Seakan udah hapal kelakuan gue. "Papa kamu nunggu di dalem tuh, langsung kesana aja ya?"
Tanpa menjawab apa-apa gue langsung ngacir ke ruang tamu tempat Kenio berada. Terlihat, dia lagi duduk santai di sofa pake kaus polo ala-ala orang kaya. Baca majalah dengan kacamata, lengkap sama segelas kopi disampingnya.
Udah kayak bos bener kan gayanya?
"Masih hidup, kamu?" Kata dia, begitu nyadar gue udah duduk di depannya.
Gue senyum lebar, "Belum mati, Papa?"
Iya, ini adalah gambaran interaksi gue sama dia. Interaksi antara anak laki-laki, dan sosok yang hampir ngebunuh si anak.
Cerita soal keluarga gue itu kompleks banget, ribet, panjang pula. Nggak indah. Nggak cocok dijadiin cerita yang menginspirasi.
Ibaratnya bunda tuh bidadarinya yang turun dari kahyangan, dan bokap gue udah macam pengamen pinggir jalan yang di pungut sama si bidadari.
Pernah denger kata dangerous liaisons? Nah, kayaknya itu frasa paling tepat untuk menggambarkan hubungan bunda dan Kenio.
Kenio itu anak tunggal dari keluarga patriarki dengan mindset kolot yang mengagungkan harga diri. Sedangkan bunda itu anak dari keluarga kaya yang saking sibuknya, nggak pernah merhatiin dia.
Kehidupan bunda bisa dibilang bebas. Kakek nenek gue dari pihak bunda taunya cuma mencukupi kebutuhan materi, tapi enggak dengan teori dan hubungan batinnya. Sebagai anak yang jarang di perhatiin sama orangtuanya, bikin bunda bebas mau ngapain aja tanpa takut. Bahkan sampai ada yang tega ngasih label pelacur ke sosok jelita kayak dia. Padahal bunda nggak serendah itu. Gue jelas tahu beliau cuma butuh peran dari sosok laki-laki dewasa yang diharap bisa ngelindungin dia.
Kenio yang merupakan anak tunggal dengan berbagai tuntutan dan ekspektasi keluarganya, jelas iri dan mendambakan kebebasan seperti bunda. Dia kenalan sama bunda, dan sedikit banyak ikut mencicip kebebasan di pergaulan barunya. Yang namanya kuda baru keluar kandang, nggak tahu dah lari kemana aja sampai keluar jalan. Doi ber-akting seakan dia bisa jadi sosok yang selama ini bunda butuhin. Sampe akhirnya, entah gimana dia ngebujuk bunda buat main sama dia, dengan sekian banyak janji palsunya.
Pernikahan mereka didasari oleh kecelakaan juga, sama kaya gue dan Natusha. Bedanya, mereka sadar dan dalam kondisi waras saat itu. Sedangkan gue dan Natusha ada dibawah pengaruh obat serta alkohol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera : phrase of hope
General FictionTerbelenggu dalam ikatan menjijikan bernama pernikahan bukanlah sebuah hal yang Natusha cita-citakan. Harapannya untuk terbang jauh meninggalkan Indonesia guna menempuh pendidikan di negeri Paman Sam pupus begitu saja tatkala seorang pemuda brengsek...