Siluet sosok Natusha yang lagi sibuk berkutat dengan alat-alat dapur adalah hal yang pertama kali netra gue tangkap. Pemandangan yang bisa dibilang udah jadi hal wajar disetiap pagi. Gue menyugar rambut yang masih berantakan ke belakang, sebelum mengarahkan kaki ke meja makan.
"G'morning," sapa gue dengan muka baru bangun yang awut awutan. Biasanya sih, cewek cewek lebih seneng muka bare face begini. Keliatan seksi, katanya.
Natusha noleh sebentar untuk beradu pandang sama gue, sebelum akhirnya fokus ke masakannya lagi. "Morning!" Balas dia semangat, "Kok belum siap? Nggak sekolah?"
"Entar agak siangan," jawab gue malas, "Lagian mana mungkin gue ninggalin lo hari ini."
Rencananya gue emang nggak mau berangkat hari ini, pengen bolos dengan dalih nemenin Natusha. Tapi kayaknya nggak bisa, doi pasti bakal ngomel lagi kalo tau gue nggak sekolah cuma gara-gara males aja. Ya, gimana? Masa iya gue ninggalin dia sendirian sementara dia sendiri habis ngalamin kejadian nggak mengenakkan.
Kekehan pelan dari Natusha terdengar. Buset, doi ketawa aja anggun bener. "Bilang aja mau bolos, kan?" Tebaknya tepat sasaran.
"Nanti kalau gue pergi ada yang nangis."
Yang disindir langsung melotot begitu denger ucapan gue barusan. Doi natap gue nggak terima, "Kata siapa gue nangis?" Dustanya.
"Terus yang ngabisin tisu di kamar siape? Setan?" Nggak tahu aja dia kalo gue sampe kehabisan tisu buat bersihin hardware kamera saking deres tangisannya.
Natusha nyengir, "Lo merhatiin gue banget ya?" Tanya dia nggak yakin.
Jawabannya udah jelas sih, sebenernya. Hidup gue udah gue abdikan sepenuhnya untuk dia dan makhluk dalam perutnya ketika gue udah bertekad mengucap akad. Nggak ada alasan bagi gue untuk nggak peduliin mereka. Yang artinya, mereka otomatis jadi bagian dari hidup gue juga.
Tapi gue cuma ngegeleng alih alih ngomong panjang lebar soal fakta sebenarnya, "Nggak sih, gabut aja."
Bumil satu itu berdecak kesal begitu denger jawaban gue, "Pengangguran sih," ledeknya.
"Gini gini duit gue cair terus," bela gue tegas. Namanya Dewangkara nggak mungkin tiba-tiba diizinkan miskin sama Tuhan. Jelas itu bukan nama yang bisa dengan mudah susah apalagi jatuh melarat. Bunda nggak akan ngasih gue nama belakang Dewangkara tanpa alasan.
"Udah bikin pos keuangan belum?" Sergah Natusha tiba-tiba. Bikin gue tersadar kalau istri gue itu termasuk dalam jajaran orang pintar.
Gue mendengus, nggak bisa diajak mikir begituan. "Belum, lo aja," putus gue, "Duit gue kan duit lo juga."
Senyum manis spontan mengembang di bibir Natusha, "Gue bikin rekening buat investasi sama dana darurat, ya?" Izinnya.
Gue ngangguk, "Bikin rekening khusus bulanan lo sekalian, jadi gue tinggal transfer," titah gue yang langsung disetujui Natusha.
Konsep perencanaan hidup Natusha emang nggak ada yang bisa ngalahin. Doi udah terdikte untuk menjalani hidup yang terencana, nggak kayak gue yang lebih memilih ikutin aja alurnya. Satu hal yang bisa gue syukuri, Natusha bisa ngelola keuangan dengan baik sehingga gue nggak perlu khawatir lagi soal begituan. Anak gue kayaknya cukup beruntung punya ibu kayak Natusha. Seenggaknya, hidupnya nggak bakal lontang lantung kayak bapaknya.
"Len," Panggil Natusha dengan nada serius, "Bisa minta tolong nggak?"
"Apa?"
Doi matiin kompor sebelum memutar badan buat menghadap ke gue sepenuhnya, "Kiss my neck..?" lirih dia.
Bisa sih, bisa banget malah. Tapi, "Ngapain?"
Natusha natap gue ciut kali ini, "Gue jijik tiap inget Olfie," jujurnya, "Bisa tolong.. hilangin bekasnya?" Kata dia dengan suara lirih. Takut-takut gue bakal marah karena diminta buat hilangin bekas orang.
Padahal mah, kagak. Mana mungkin gue marah perkara di kasih rejeki?
Gue natap horror ke Natusha yang udah siap angkat rambutnya, "Yakin, Na?"
Yang ditanya ngulum senyum ragu, mendekat ke arah gue. "Lo juga jijik, ya?" Tanya dia dengan raut bersalahnya.
Padahal yang jadi masalah adalah iman gue yang setipis kertas ini ditantang istri sendiri pagi pagi begini.
Gelengan pelan dari gue jadi jawaban atas pertanyaan Natusha. Tangan gue terulur untuk narik dia mendekat, memposisikan doi berdiri membelakangi gue. "Don't say that, kita nggak pernah minta buat ngalamin kejadian kayak gini." Bisik gue.
Natusha nurut, nggak butuh waktu lama buat dia pasang posisi di depan gue dan ngangkat rambutnya setinggi mungkin sampai nampakkin leher jenjangnya yang mulus. Wangi flory dengan sedikit sentuhan vanilla langsung menguar dari sana. Wangi dengan efek afrodisiak yang cukup mampu bikin gue tergoda buat menghidunya.
"Disini," tunjuk Natusha sambil ngarahin jarinya ke bawah telinga.
Gue menghela nafas panjang sebelum nunduk untuk mendekat ke lehernya. Susah payah nahan diri setengah mati supaya nggak bangun karena hal sepele begini. Tapi begitu kecupan singkat gue daratkan di lehernya, Natusha tiba-tiba bergerak ke kanan, ngasih tempat buat gue menjajah lehernya.
"Jangan diisep!" Tegurnya begitu tahu gue ngapain disana.
Spontan gue terkekeh ngeliat reaksinya yang langsung mencoba menjauhkan diri. Gue nyengir, ngelepas tautan tangan gue di pinggangnya sebelum mundur beberapa langkah dari Natusha. Menghirup udara sebanyak yang gue bisa buat netralisir panas yang menggebu tiba-tiba.
Natusha nurunin rambutnya, kali ini sambil menghadap ke gue. "Makasih," ujarnya sambil masang senyum manis.
Alis gue terangkat sebelah, "Udah nggak jijik?"
"Nggak,"
"Kan sama aja, gue cium leher juga?"
Doi masang ekspresi gemes karena gue nggak paham sama maksud dia, "Beda lah!" Serunya, "Lo kan suami gue," kata dia dengan tatapan salah tingkah. Doi ngacir ke dapur lagi untuk menyajikan masakan yang mateng beberapa menit lalu, menghindari tatapan gue yang lagi mandangin dia serius dari meja makan.
Gue nggak bisa bohong waktu bilang wangi Natusha itu punya pengaruh yang besar. Kenyataannya, itu wangi dengan efek afrodisiak paling nyata yang pernah gue temukan. Ninggalin sedikit sensasi panas yang bikin gue harus nahan diri sekeras mungkin buat nggak langsung nerjang.
Atau barangkali ada syaraf di otak gue yang udah rusak sampai sampai gue yang dulu anti begituan jadi bisa terangsang cuma gara gara wangi doang.
Natusha balik ke meja makan dengan beberapa masakan di tangan, sibuk nata posisi piring piring masakan. Gue berdehem pelan, "Udah masuk trimester tiga kan, Na?" Tanya gue.
Yang ditanya agak terlonjak begitu denger suara serak gue, "Udah," jawabnya dengan tangan yang masih sibuk merapikan meja makan.
"Kalau gue minta hak gue, gimana?"
Aktifitas Natusha terhenti. Doi mendongak buat natap gue yang lagi mengerling ke dia. "Mesum amat!" Omelnya.
Tawa gue meledak, nggak bisa nahan gemes ngeliat Natusha yang sekarang pipinya udah semerah tomat. "Boleh nggak?" Goda gue lagi.
Awalnya gue cuma mau bercanda, sekaligus ngetes apakah Natusha masih jaga jarak ke gue atau udah sepenuhnya menerima. Tapi jawaban Natusha, bener bener di luar yang gue duga.
Doi meletakkan segala benda di tangannya ke meja, lantas mendongak buat adu tatap sama gue. "Tapi jangan kasar," lirihnya.
Detik itu juga, jantung gue berdebar nggak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera : phrase of hope
General FictionTerbelenggu dalam ikatan menjijikan bernama pernikahan bukanlah sebuah hal yang Natusha cita-citakan. Harapannya untuk terbang jauh meninggalkan Indonesia guna menempuh pendidikan di negeri Paman Sam pupus begitu saja tatkala seorang pemuda brengsek...