"Ini lucu banget, Len!" seru Natusha sambil nunjukkin sepasang sepatu bayi berwarna pastel pink dengan muka teddy bear sebagai hiasan di tengahnya.
Gue ngangguk sambil ngikutin langkah Natusha yang udah ngacir ke rak lain lagi.
Sejak sampai, yang dilakuin Natusha cuma ngeliat liat barang lucu terus nunjukin ke gue. Beberapa dia pandangin lama banget sebelum akhirnya pindah ke rak lain. Kayaknya hampir nggak ada barang yang belum di pegang Natusha di sini, hampir semua udah dia ambil buat ditunjukkin ke gue.
Tadi pegawainya sempet nawarin buat nganterin doi ke tempat barang barang yang barangkali bakal di butuhin buat mempersiapkan lahiran. Tapi Natusha pengen muter-muter dulu katanya. Jadi baru dapet beberapa barang doang.
"Bagus yang mana?" Tanya dia sambil nunjukkin dua pasang kaus kaki di tangannya. Satu berwarna coklat, satu lagi biru muda.
Spontan gue ngambil kedua kaus kaki itu dari tangan Natusha biar bisa ngeliat lebih detail. Kata gue sih sama aja, nggak ada bedanya selain warna. "Ini," putus gue sambil ngulurin yang biru muda.
Natusha mendengus, "Bagus yang itu, Len," ucapnya sambil nunjuk yang coklat. Cewek emang gitu. Udah tau jawabannya, masih pake tanya segala.
"Yaudah, yang itu."
"Tapi kata lo bagus ini?" Doi melas.
Gue mendesah kesal, "Bagus semua," kata gue sambil muter bola mata. Jujur, gue udah capek banget ngikutin doi muterin toko. Kalo ada tempat duduk buat pelanggan pasti gue milih duduk ini. Sayangnya rak yang jadi tempat jajahan Natusha agak jauh dari tempat duduk yang tersedia, bikin gue nggak bisa leluasa ngawasin dia.
"Pilih yang bener, bagus mana?"
Ngertiin cewek emang butuh tenaga lebih, brader. "Yang ini," bales gue jujur.
"Dibilang bagusan yang itu!" Natusha protes.
Gue refleks masang senyum depan dia, "Lo kalau mau ngajak ribut bilang aja, Na."
Natusha nyengir, berakhir dengan dua duanya masuk ke keranjang belanjaan dan doi ngacir lagi ke rak lain. Heran, yang begitu aja dipermasalahin sama Natusha. Mau nampol, tapi istri sendiri.
Gue memilih buat duduk di kursi sofa panjang yang agak jauh sama tempat yang Natusha jajah sekarang. Sabodo mau kemana juga, yang penting doi nggak ilang. Toh emang gue kesini niatnya mau manjain mata doang, bukan adu selera sama Natusha. Lagian bumil mah normalnya capek kebanyakan muter, ini dia malah semangat banget sampe satu toko di puterin semua. Giliran dirumah aja, ngeluh mager anak gue berat katanya.
Mata gue terpatri sama satu gaun rajut bayi bermotif strawberry dengan detail di sekitar lehernya. Manis banget. Otomatis aja menarik secercah ingatan gue tentang Binar untuk keluar. Kembaran gue itu dulu paling suka sama yang namanya strawberry, dan kebetulan aja gaun bayi itu bisa menggambarkan memori tentang dia dengan sempurna.
"Udah, Len," lapor Natusha yang entah darimana tiba-tiba aja udah di samping gue, nyerahin sekeranjang penuh barang barang yang tadi dia pilih.
"Na," panggil gue, yang mendapat deheman dari si empunya nama. "Bajunya bagus," kata gue sambil nunjuk gaun yang tergantung paling depan diantara gaun lainnya. Mata Natusha mengikuti arah jadi gue yang berhenti tepat di depan gaun strawberry yang gue maksud.
Doi ngangguk perlahan, "Bagus,"
"Ambil sini,"
Natusha ngernyitin dahi, "Lah, kan nggak tahu dia cewek atau cowok."
"Ambil aja, gue suka." titah gue.
Mau anak gue laki ya terserah, kan nanti tinggal buat lagi yang cewek biar bisa dipake. Gitu kok ribet.
Natusha nurut, nggak perlu waktu lama buat dia ngambil gaunnya terus balik lagi. Kali ini dia jalan di belakang gue yang udah duluan menuju kasir. "Bawa dompet kan, Len?" Tanya dia was was, takut ketinggalan lagi kayak yang lalu lalu.
Gue mendengus sambil nyentil jidatnya, "Bawaa," kata gue sambil nyerahin satu kartu dari dompet yang langsung diambil alih Natusha. Doi semangat banget ngantre di kasir sementara gue gantian berdiri doang di belakangnya.
Dari belakang gini, gue yakin nggak ada yang percaya kalo Natusha lagi hamil. Pasalnya, body dia emang bagus dari awal sih. Mungkin itu juga kali yang bikin gue langsung turn on begitu ketemu dia di bar malem itu.
Sempet gue tanya alasan Natusha ada disana, katanya cuma buat nemenin temennya ketemu pacarnya yang kebetulan pegawai bar. Tapi malangnya doi harus ketemu sama gue.
Masih keinget jelas banget di memori gue, tentang bagaimana gue memperlakukan Natusha malam itu. Kasar. Definisi dari kasar. Gue lepas kendali dan nggak bisa mikir jernih lagi. Yang ada di pikiran gue cuman gimana efek obat yang jadi pemicu hasrat yang gue tahan daritadi keluar dan gue lega.
Natusha ada di kondisi yang sama sama dibawah pengaruh alkohol juga, akibat dari dia coba-coba minum ikutan temennya. Awalnya dia emang nolak, tapi saat kesadarannya udah mulai lenyap, instan dia ikut terbuai buat masuk ke dalam permainan. Meski besoknya ya nyesel juga. Pake nangis nangis segala.
Kejadiannya nggak lebih dari dua jam, malah. Tapi cukup buat ngasih pelajaran yang berharga untuk kami berdua. Ninggalin pengaruh sebegini dahsyatnya sampai bikin kami terikat akhirnya.
Tapi mau gimanapun, gue menyadari kalo gue maksa Natusha jadi ibu disaat dia sendiri belum siap buat itu.
Jadi kalau suatu saat Natusha berbalik ninggalin gue bahkan benci sama anak gue, itu merupakan salah gue sepenuhnya. Gue sumber dari segala permasalahan dia. Gue kepala keluarga. Gue juga yang harusnya bisa ngatasin masalah yang ada di keluarga gue yang terbentuk belum lama ini.
"Udah!" Seru Natusha yang tiba-tiba udah di depan gue.
Beberapa papper bag berjajar rapi dalam genggaman tangannya, sebelum gue ambil alih semua. "Udah, ini aja?"
Natusha ngangguk sambil masukin kartu ATM gue ke dompet lagi, "Yang lain nanti dianter ke rumah,"
Mendengarnya, gue spontan mendengus, "Katanya tadi mau liat-liat dulu?"
Natusha nyengir, "Kan sekalian kesini," alibinya. "Kalau nunggu mepet lahiran nanti keburu sold out,"
Gue cuma bisa menghela nafas bentar sebelum akhirnya mulai jalan keluar dari toko, diikuti Natusha yang juga jalan di sisi gue. Rencananya kita mau muterin mall dulu sekalian cari makan. Daripada balik rumah ujung ujungnya nunggu Natusha masak, mending beli sekalian.
"Gue kesel," kata Natusha tiba-tiba.
"Kenapa?"
Doi monyongin bibirnya sebel, "Masa tadi pegawainya ngeliatin lo aneh,"
"Aneh gimana?"
"Aneh," doi ngadu, "Aneh deh!"
Kalau udah begini mah nggak ada pilihan lain selain ngeiyain ucapan dia. Kalau ditanya lebih lanjut, makin ngambek anaknya. Dikata nggak peka karena hal sepela yang bikin dia kesel aja lo nggak tau.
Gue gandeng tangannya mendekat, "Iya, aneh," kata gue, "Mau makan apa nih?"
"Orang,"
Ebuset neng, beringas amat.
Nggak sampai disitu, Natusha tiba-tiba aja masuk ke salah satu restoran. Bener bener nyelonong masuk sembarangan sampe gue aja kaget. Doi pesen makan, terus duduk di kursi meja makan yang tersedia. Ngeliatin gue yang masih berdiri kaget depan kaca restorannya.
Ngeri bener.
"Ngapain disitu?" Itu gerak bibir doi yang bisa gue baca dari kejauhan, bikin gue langsung buru buru ikut masuk ke restoran yang jadi pilihan Natusha.
Gue mendudukkan diri depan Natusha, "Pesen sendiri?"
Doi ngegeleng, "Nggak, lo juga." Jawabnya lirih.
Mata gue terfokus mandangin Natusha yang lagi sibuk ngeliatin orang lalu lalang di balik dinding kaca, sementara kedua tangannya ngelus ngelus perut tanpa berhenti. Seakan itu udah jadi kebiasaan setiap dia duduk di kursi.
"Na," panggil gue, "Lo nyesel nggak, berakhir sama gue?"
Natusha tampak mikir, "Sejauh ini belum,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera : phrase of hope
General FictionTerbelenggu dalam ikatan menjijikan bernama pernikahan bukanlah sebuah hal yang Natusha cita-citakan. Harapannya untuk terbang jauh meninggalkan Indonesia guna menempuh pendidikan di negeri Paman Sam pupus begitu saja tatkala seorang pemuda brengsek...