20. Dia siapa?

379 27 0
                                    

"Dia siapa?"

Hari gue udah hancur karena telat berangkat sekolah tadi pagi, ditambah ketahuan balapan yang berakhir gue diskors, makin lengkap dengan nilai fisika gue yang anjlok. Sekarang, pemandangan Natusha yang lagi mesra berduaan sama cowok makin sukses bikin emosi gue meluap-luap.

Cewek itu cuma nyengir sambil mempersilahkan gue duduk di sampingnya, "Kenalin, namanya Kak Geo."

"Siapa lo?" Gue nggak bohong kalau bilang gue kesel abis karena Natusha sekarang. Jelas aja, dia nggak nyiapin apa apa buat gue makan bahkan terkesan ngacangin gue berjam-jam cuma buat ngobrol sama cowok gajelas yang duduk di depannya.

Natusha masang senyum, "Temen,"

"Ngapain diundang kesini?"

Raut wajah Natusha yang tadinya lagi bahagia langsung kaget begitu nyadar gue nggak sedang akan beramah tamah sama tamunya. Begitu juga si tamu yang langsung ngeliatin gue skeptis. Sabodo, gue sebel.

"Buat main lah."

"Main kuda-kudaan maksud lo?"

Natusha jelas paham sama apa yang gue maksud, tapi responnya dia cuma ngeliatin gue dengan tatapan bodo amat. "Kalau mau marah jangan sekarang," ucapnya, yang spontan gue angguki.

Gue masuk ke kamar dengan perasaan dongkol, ngebiarin Natusha berduaan di ruang tamu sama cowok gajelas yang sialnya ganteng juga. Tapi nggak lebih ganteng dari gue. Tangan gue mengepal waktu ngelihatin dari jauh seakrab apa interaksi mereka. Dan berakhir gue badmood dikamar sendirian.

Gue bukan tipe orang yang bakal marah tanpa alasan. Bukan pula orang yang cemburuan. Tapi kali ini Natusha beneran ngelewatin batasan. Dia pergi bareng cowok itu tanpa pamit dan bikin gue khawatir karena dia tiba-tiba ilang dirumah. Begitu pulang bukannya ngasih alasan apa segala macem, doi justru nyambut tamunya di ruang tamu dan ngobrol berjam-jam sampai kehadiran gue aja rasanya nggak jadi perhatian buat dia.

"Len," Gue noleh begitu mendengar suara panggilan dari Natusha. Orangnya lagi berdiri di daun pintu kamar sambil natap gue serius. Gue masih asyik main ponsel, nggak mengindahkan panggilan Natusha. Satu yang pasti, tamunya dia udah pulang dari sini.

"Lentera," panggil dia lagi sambil berjalan mendekat ke gue yang duduk senderan di kasur. "Lo keterlaluan tau gak?"

"Jadi gue yang salah nih?" Ucap gue sarkas sambil memasang senyum yang jelas aja nggak tulus.

Natusha ikut duduk di hadapan gue. Posisinya kaki gue selonjor tapi agak ditekuk, sementara kaki Natusha ngegantung. "Maksud lo apa bilang main kuda-kudaan?"

"Bener kan?" Gue natap Natusha tajam, "Darimana kalian kalau nggak dari liat kuda?"

"Tapi ucapan lo punya arti beda" Natusha masih kekeuh sama pendapatnya yang sebenernya nggak salah. Gue emang sengaja bilang begitu biar dia tahu dia udah keterlaluan hari ini.

"Interaksi lo sama dia juga punya arti beda."

Natusha natap gue dengan pandangan nggak percaya. Seolah nggak nyangka gue nuduh dia ada main di belakang. "Dia cuma mantan gue sebelum pindah, Len. Sekarang jadi temen gue,"

"Etis nggak cewek yang udah nikah pelukan sama mantannya?"

"Itu refleks!" Dalihnya, "Tadi kudanya lari ke arah gue, jadi gue refleks meluk kak Geo."

Tai, tai.

Gue masih mencoba nahan emosi yang lagi membara sekuat mungkin biar nggak jadi fatal akhirnya. Gue tatap netra legam Natusha yang juga lagi natap gue tajam. "Oke, anggap aja yang itu nggak sengaja. Terus, gimana soal lo yang pergi tanpa pamit seharian dan bikin gue nyariin?"

Lentera : phrase of hopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang