Terbelenggu dalam ikatan menjijikan bernama pernikahan bukanlah sebuah hal yang Natusha cita-citakan. Harapannya untuk terbang jauh meninggalkan Indonesia guna menempuh pendidikan di negeri Paman Sam pupus begitu saja tatkala seorang pemuda brengsek...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy reading — -ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-
"Lo pernah jatuh cinta nggak, sebelumnya ?"
Pertanyaan dari Natusha masih muter-muter di kepala gue sejak dua jam lalu. Si empunya tanya udah tidur anteng dalem selimut nya. Sedangkan gue masih melek, duduk di kasur samping dia sambil mikirin jawaban apa yang bakal gue kasih kalau dia tanya lagi besoknya.
Kalau ditanya pernah atau enggak, jawabannya pernah.
Gue pernah jatuh cinta, sekitar tiga tahun silam. Sama sosok jelita kelahiran Eropa yang punya rambut pirang. Seren namanya, Serendy. Ada kali dua tahun gue pacaran sama dia, sebelum akhirnya dia milih pergi ngikutin ibunya tanpa pamit sama sekali ke gue. Dan kita putus gitu aja.
Perasaan gue sama Seren udah sedalem itu, sampai Kenio aja tau. Dia perempuan pertama yang gue cintai setelah Bunda dan Binar. Dia juga sosok yang nguatin gue disaat Binar ditemukan nggak bernyawa dikamarnya. Dan dia pula yang janjiin ke gue kalau semua bakal baik-baik aja.
Seren selalu ada kapanpun gue butuh dia. Seren satu-satunya orang yang stay di titik terendah gue. Seren juga satu-satunya manusia yang percaya, dan mendukung gue sepenuhnya.
Dia itu rumah. Buat gue, Seren itu segalanya.
Tapi itu dulu, sebelum akhirnya dia pergi ninggalin gue tanpa pamit. Bertahun-tahun nggak kasih kabar, dan kita lost contact gitu aja.
Ada kali tiga bulanan gue ngegalau waktu dia pergi tiba-tiba. Tiap hari introspeksi, kira-kira apa sih hal yang bikin dia akhirnya milih pergi?
Sampai gue muak sendiri.
Muak sampai-sampai nggak mau lagi berurusan sama perempuan. Karena gue, nggak siap untuk patah hati lagi.
Butuh waktu setahun penuh buat gue bangkit dari keterpurukan karena ditinggal pacar. Lalu akhirnya, naik kelas tiga SMA gue memutuskan untuk move on.
Beberapa bulan setelah gue mendeklarasikan diri untuk move on dari Seren, kejadian antara gue dan Natusha yang mengakibatkan si kacang hadir terpaksa bikin gue berhubungan sama cewek lagi. Tapi makin kesini, makin gue tahu kalau bukan Natusha yang jadi penyebabnya, melainkan diri gue sendiri. Separuh dari gue yang masih stuck di Seren, yang sadar nggak sadar masih rindu dan cinta banget sama dia, yang pengen ngerasain lagi hangat peluknya.
Sampe ngorbanin Natusha yang nggak tahu apa-apa, dan bikin dia terikat sama gue.
Setelah banyak dari waktu yang gue habiskan bareng Natusha, gue akhirnya tahu sesusah apa dia ngurus anak gue. Setakut apa dia sama resiko yang mungkin aja terjadi nantinya. Sama omongan orang-orang, sama penghakiman dari pihak sekolah, sama pandangan dari masyarakat.
Dan gue jelas nggak tega ngelihat dia sakit lagi. Lebih nggak tega kalau ternyata gue yang jadi penyebabnya.
Itu juga yang jadi alasan kenapa gue nggak nyeritain tentang Seren ke Natusha. Karena belum tentu Natusha bisa nerima. Walau gue tahu hal ini bakal jadi masalah besar nantinya. At least, nggak untuk sekarang.
Ngomongin soal hal ini, gue jadi inget permintaan om Aldi di pagi hari sebelum akad gue sama Natusha.
Dia bilang, "Lentera, saya nggak pernah meminta pertanggungjawaban dari kamu. Biar gimanapun, saya bisa ngurus anak dan cucu saya sendirian"
Gue yang merasa doi seperti nggak terima keputusan gue ya cuma bisa masang senyum canggung aja, sambil jawab "iya, om"
"Tapi karena kamu sudah memutuskan untuk bertanggungjawab, tolong lakukan itu sampai akhir." Pintanya, "Kalian menikah tanpa cinta. Jadi, jika suatu saat kamu tertarik sama yang lain, saya paham. Tapi tolong jangan bilang apa-apa sama Natusha, cukup antarkan dia kembali ke saya. Jangan pernah kamu lukai dia dengan kata-kata, saya mohon"
Nangis nggak? Nangis banget. Gue nggak tahu kenapa langsung otomatis nangis waktu om Aldi ngomong gitu. Bukan semata-mata karena terharu, bukan. Tapi gue kaget ngelihat betapa sayangnya dia ke Natusha. Kasih sayang yang nggak pernah Kenio perlihatkan ke gue, anak kandungnya, selama hampir sembilan belas tahun hidup gue.
Tapi tanpa sadar ucapan om Aldi juga ngasih beban tak terlihat ke gue untuk selalu menjaga perasaan Natusha. Yang harusnya gue sadari, kalau itu di luar kemampuan gue sebagai manusia. Tapi nggak, cowok bodoh yang bikin keputusan nekat cuman karena nggak mau di panggil pecundang ini, malah mengiyakan ucapan doi seakan gue adalah juru kunci kebahagiaan Natusha.
"Len?" gue noleh, ngelihatin Natusha yang kayaknya kebangun. Doi natap gue penasaran pake mata ngantuknya, "Belum tidur?" Tanya dia.
Ya Tuhan, gemes banget mukanya. Tapi demi mempertahankan wibawa, gue senyum tipis aja, "Belum ngantuk."
"Sini tidur," Gue ngangguk, ngerebahin diri disamping Natusha. Malem-malem gini nih jam jam nya Natusha jadi jinak.
"Len," Panggil dia lagi, yang sekarang lagi sibuk nempelin kuping ke perut gue.
"Kenapa?"
"Buka baju dong,"
...mau ngapain kamu sayangku?
Gue natap dia skeptis, curiga sebenernya ini emang ulah anak gue atau modusnya Natusha. Tapi doi keburu agresif angkat kaus gue duluan, terus peluk perut toples gue. Literally dia peluk.
"Lo kenapa sih?" Tanya gue heran, tapi ngebiarin aja dia main main di sana.
"Badan lo baunya bikin muak, tapi perutnya anget" excuse, me? Gue bahkan nggak tahu ini hinaan atau pujian buat seorang user Tom Ford White Suede.
"Na," tiba-tiba gue keinget, "Itu si kacang nggak mau di periksa?"
"Periksa gimana?"
"Periksa ke dokter. Kata mama gitu," Gue nggak bohong, emang sebelum pindah mama sempet ngasih petuah buat sering sering ngajak Natusha periksa.
Natusha ngangguk, "Iya, kemaren waktu ketemu juga dia bilang gitu"
Gue ngusap rambutnya. Natusha kalau malem emang mau diapain aja juga anteng bocahnya, "Mau periksa nggak?"
Yang ditanya mikir mikir bentar, sambil mainin tangannya di perut gue. Rada geli tapi anget. "Mau, hari ini mau?"
Iya, hari ini. Soalnya ini udah jam tiga pagi.
"Boleh."
Natusha senyum bentar sambil natap gue, terus lanjut ngerebahin diri lagi di samping gue. Tidur.
Satu hal yang gue pahami setelah mengamati gerak-gerik Natusha dan tinggal bersama adalah, ini anak gampang banget tidurnya. Segampang itu. Ketemu kasur, merem, tidur. Tapi gampang kebangun juga, denger yang berisik dikit kebangun.
Gue ikut ngerebahin diri dengan nyaman, tidur memunggungi Natusha. Yang jelas aja dapet serangan tiba-tiba, pelukan dari belakang. Disusul kepala dia yang kayaknya ndusel di punggung gue, ngehirup wangi kausnya dalam-dalam.
Ini juga merupakan salah satu hal yang masih belum terbiasa buat gue. Natusha mode malem itu suka banget physical touch. Dan gue nggak boleh risih. Soalnya kalo ditolak dia nangis. Hormon ibu hamil, kata mama.
Sementara Natusha mode siang, benci banget physical touch. Sebisa mungkin gue jangan megang megang dia kalau nggak mau dia ngamuk tiba-tiba. Balik lagi. Hormon ibu hamil, kata mama.
"Na," panggil gue.
"Na," panggil gue lagi.
Oke, nggak ada jawaban. Beneran tidur berarti.
Gue menghela nafas pelan, "Nanti kalau suatu saat ada sosok dari masa lalu gue yang balik lagi, tolong ingetin ke gue kalau si kacang nggak butuh ibu tiri"