Akhir pekan ini Natusha habiskan dengan main ke rumah orangtuanya. Doi mau ngobrol banyak sama mama sekaligus kangen ketemu papa, katanya. Nggak perlu ditanya soal Ansena, bocil kematian satu itu bisa dipastikan bukan nunggu kedatangan Natusha tapi oleh oleh yang dibawa.
Sama halnya dengan Natusha yang memilih menghabiskan waktu bersama keluarga, gue memilih menghabiskan waktu juga. Bedanya, gue bareng para cecunguk yang kurang belaian ini.
Dua kotak pizza udah tersedia di atas meja markas. Dibeli atas dasar perayaan dalam rangka keberhasilan Joel menangin balapan sendiri. Biasanya bule satu itu kalah mulu kalau nggak ada dekingan dari belakang. Toh doi emang lebih antusias ke mesin ketimbang pertandingan.
"Gimana kabar anak gue?" Tanya Arjuna sokab. Lelaki yang dikasih gelar cowok kul sama anak sekolahan itu mendudukan dirinya di samping gue yang ngeleyeh di sofa, ngambil satu slice pizza sambil natap gue dengan pandangan nyebelin.
Gue mendengus, tau banget maksud pertanyaan Arjuna. "Sehat, om," Balas gue seadanya.
Ceritanya dia doang yang nganggur nggak ada kerjaan selain ngangguin gue dan tanya tanya soal mantan ayangnya. Lebih ke sengaja mau cari perkara sih, kayaknya. Karena Arjuna sempet bilang, kalau anak gue, anak dia juga. Hooh, bapak gadungan.
Netra gue berpendar, mendapati Jagad lagi sibuk mesra mesraan sama buku buku soalnya lagi. Cowok ambis itu makin ambis lagi di waktu waktu mepet ujian begini. Katanya sih, takut nilainya turun apalagi remidi. Padahal kata gue mah, mustahil banget remidi bisa bersanding di sebelah nama seorang Jagad Cakra.
Sedangkan bintang utama dari pertemuan ini justru lagi goleran santai di lantai dengan dua tangan yang asik ngetik di ponsel. Dari yang gue tebak, pasti lagi balesin chat dari pacar pacarnya yang nggak kehitung banyaknya itu. Bule Australia satu ini jelas tahu bahwa wajah tampannya bisa dia manfaatkan semaksimal mungkin untuk dapet kepuasan.
"Olfie nggak ikut tanding, kemaren." Ucap Joel menginfokan. "Makanya gue bisa menang,"
Nggak heran. Kemampuan Olfie jelas nggak sebanding sama Joel yang lebih fokus ke proses daripada hasil. Biarpun gue benci, harus gue akui bahwa kemampuannya cukup mumpuni bahkan sebanding sama gue sekarang ini. Dan jelas, alasan Olfie yang biasanya hyper balapan itu nggak ikut tanding pasti karena doi dateng ke dinner dadakan Kenio malem itu.
"Selamat deh," ucap gue dengan tangan yang ngeraih kotak rokok di atas meja.
Kali ini Arjuna ganti nargetin tatapan ke gue, "Nggak mau tanding lagi, Len?"
Gue mikir bentar.
Sebagai sosok yang familiar sama balapan, jelas ada rasa nggak rela ketika gue ngelepas hobi gue gitu aja. Emang nggak ada yang mengharuskan, tapi gue sendiri sadar gimana seharusnya gue memposisikan diri sekarang. Jadi gue memilih untuk balapan sama mereka bertiga ini doang, sekedar seneng seneng tanpa hadiah. Nggak berani lagi untuk turun ke jalan ikut balapan liar dan berurusan sama Olfie juga gengnya.
"Nggak deh," putus gue, "Nggak siap gue kalo si kacang tau kelakuan bapaknya waktu muda."
"Dih, justru keren anjir!" Seru Arjuna tiba-tiba, "Ntar dia bisa pamer bapaknya dulu pembalap!" Kata dia heboh.
Emang udah sedeng otaknya.
Alih alih menanggapi Arjuna, mata gue terfokus ke Joel yang lagi mantengin ponselnya dengan gurat lelah. Bedebah satu itu bukannya seneng atas kemenangannya malah ngegalau gegara pacar pacarnya. "Ngapa lu?" Cerca gue.
Yang ditanya menghembuskan nafas panjang, "Cewek gue selingkuh," lirih dia pelan.
"Wajar kali?" Sahut Juna, "Lo nya aja suka mendua mentiga sampe menlima."
Joel mendengus nggak terima, "Beda, yang ini cewek gue beneran." Sergahnya.
Keributan yang disebab ceweknya Joel itu cukup untuk menarik perhatian mas mas kutubuku di pojok ruangan tampaknya. Terbukti dari dia yang langsung nutup buku dan berjalan mendekat ke arah sofa kosong di hadapan gue. "Nikmatin aja, itu karma namanya." Ucap dia tanpa iba.
"Masalahnya doi selingkuh sama mantannya," ujar Joel lagi. "Gue berasa jadi mainan."
"Ada ya orang yang mau jilat ludah sendiri?" Cibir Jagad.
Joel menggendikkan bahu acuh, memilih ngambil satu slice pizza dengan mimik muka yang memancarkan amarah. Lama doi ngomel sambil ngeluarin unek-unek tentang ceweknya yang selingkuh ini. Jarang jarang Joel beneran kesemsem sama cewek begini. Gue ikut ngedengerin, sedikit banyak tahu faktor faktor yang menyebabkan cewek ini selingkuh.
Salah satunya, glimpse of us. Yup, mirip sama judul lagu Joji yang kurang lebih menggambarkan sosok yang cari orang baru untuk pelarian, biar bisa lupa sama mantan. Dan hal itu bikin gue langsung teringat sama seseorang. Bukan, bukan mantan gue yang cantik jelita itu. Tapi mantan Natusha yang sangat memenuhi standar menantu idaman ibu-ibu. Yang akhirnya bikin gue ketar ketir.
Nggak butuh waktu lama buat gue memacu kuda besi seksi satu ini kerumah Natusha yang lumayan jauh dari markas. Gue memilih nyamperin doi karena nggak tenang keinget cerita Joel. Padahal rencananya Natusha mau nginep di sana beberapa hari, sebelum akhirnya pulang. Tapi sungguh, gue nggak bisa nunggu jawaban.
Motor gahar gue mulai memasuki halaman rumah Natusha pada pukul delapan malam. Lampu lampu rumah masih menyala hangat pertanda penghuninya masih pada bangun semua. Gue turun dari motor, mendesah resah sebelum akhirnya melangkahkan kaki masuk ke rumah doi.
"Alen?" Yak, baru selangkah masuk langsung ketauan. Bagus.
Gue noleh, mendapati mama yang lagi bawa satu cangkir teh sambil memandangi gue heran. Kayaknya doi mau ke ruang tamu buat ngasih teh ke lakinya, terus nggak sengaja ngeliat gue masuk dari pintu utama.
Gue memasang senyum, "Iya, Ma."
"Kata Natusha kamu kesininya besok?" Tanya mama.
Kalo bisa diibaratkan, isi kepala gue pasti lagi muter muter cari alasan yang logis ini. Nggak mungkin banget gue bilang gabut jadi mending nyusul istri. Atau malah khawatir Natusha balikan sama mantannya jadi gue harus mastiin kesini. Gengsi.
"Nggak boleh, ya?" Bego. Ini jawaban paling bego yang pernah gue ucapkan.
Mama meringis, "Boleh sih," kata dia segan. Ya wajarlah, siapa yang nggak aneh dijawab begitu sama orang?
Gue terkekeh pelan buat menyamarkan situasi yang jadinya awkward banget ini, "Ada yang mau aku sampein ke Natusha." Balas gue dengan sopan.
Mama ngangguk pelan, "Oh, silahkan. Anaknya ada di kamar, tuh. Tadi selesai makan malam langsung naik."
Gue nurut, jalan sambil sedikit membungkukkan badan begitu ngelewatin mama. Membangun imej sopan dan terpelajar didepan mertua. Ingat, pencitraan itu perlu, besti.
Singkat cerita gue langsung masuk ke kamar Natusha tanpa aba. Wangi floral yang kalem spontan merangsek ke hidung begitu gue memasuki kamar bernuansa putih itu. Nggak perlu diraguin lagi, pecinta kebersihan kayak Natusha jelas nggak bakal ngebiarin kamarnya kotor apalagi bau.
"Na?" Panggil gue pelan, yang jelas aja nggak dapet sahutan. Sosok Natusha ditemukan lagi tidur miring menghadap kanan di kasurnya. Tidur dengan pulas sampai rasanya nggak bakal bangun meski gue teriak kebakaran.
Gue mendekat ke Natusha, "Na?" Panggil gue lagi. Kali ini sambil noel noel pipinya dengan jari jari tangan gue.
"Natushaa.."
Nggak ada jawaban.
Gue mendengus kesal, sebelum akhirnya ikut merebahkan diri di samping Natusha. Memilih buat ikut tidur ajalah, karena nggak guna juga ngebangunin Natusha sekarang. Toh kalaupun bangun doi nggak bakal bisa langsung ngejawab pertanyaan gue. Capek deh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera : phrase of hope
Fiksi UmumTerbelenggu dalam ikatan menjijikan bernama pernikahan bukanlah sebuah hal yang Natusha cita-citakan. Harapannya untuk terbang jauh meninggalkan Indonesia guna menempuh pendidikan di negeri Paman Sam pupus begitu saja tatkala seorang pemuda brengsek...