"Makasih, mas," kata gue kepada mas mas delivery yang nganterin makanan pesenan gue ke depan pintu.
Setelah bayar, gue balik ke dapur buat mindahin ni makanan ke piring sama mangkok. Nggak aneh aneh kok, cuma makanan rumahan sederhana aja. Gue lagi kangen masakan bunda soalnya.
Hari udah beranjak malem, jadi ini buat makan malem gue sama Natusha nanti kalau dia bangun dari tidurnya. Ansena nggak ada, lagi ngapel ke pacarnya. Bocah banyak gaya itu beneran jadi minjem motor gue buat dipamerin ke temen tongkrongannya, sekaligus biar bikin pacarnya tambah sayang ke dia. Soalnya motor gue kece, katanya.
"Len," Gue otomatis mengedarkan mata begitu mendengar suara Natusha. Si empunya suara lagi berdiri depan pintu kamar dengan muka yang kucel sekaligus rambut yang kusut kayak singa.
"Sini," titah gue.
Natusha nurut, jalan mendekat ke arah gue yang lagi sibuk dimeja makan. Btw sekarang doi udah lima bulan loh, jadi anak gue udah bisa diajak ngobrol. Lucu kan?
Bukannya duduk, Natusha malah mampir ke wastafel bentar buat cuci muka. Ya, walau nggak sepenuhnya ngilangin muka sayunya dia, at least keliatan lebih fresh aja gitu.
"Pusing, Len," sambatnya.
Tangan kekar gue yang penuh dosa ini, lagi-lagi otomatis ngelus palanya dia. "Kebanyakan nangis, sih."
Natusha mendengus, gue ngakak.
"Makan ya?" Tawar gue, "Kasian si kacang."
"Nggak ah, nggak laper,"
Dengar jawaban Natusha tuh bikin gue antara kesel dan greget tau gak. "Terserah lo laper atau nggak, tapi anak gue butuh makan."
Akhirnya Natusha makan. Walau gue yakin dengan hati yang dongkol karena gue paksa habisin isi piringnya. Lagian ibu hamil mah normalnya tambah chubby, ini malah tambah kurus. Kan ngga normal.
"Udah tenang?" Tanya gue begitu kami selesai makan malam.
Bukan maksud gue bikin Natusha sedih lagi karena inget tentang kehidupan sekolahnya. Tapi mau nggak mau masalah ini harus dibahas sampai jelas. Biar nggak jadi boomerang buat gue sama si kacang nantinya.
Natusha senyum, "Mendingan lah."
"Ada yang mau diceritain?" Tawar gue. Barangkali Natusha butuh temen curhat kan ya. Gue inget banget gimana dulu bunda sering pengen cerita, sharing, atau sekedar ngobrol bareng tapi lakinya nggak pernah peduli sama hal hal kaya gitu. Selama bertahun-tahun, nyokap gue nahan semuanya sendirian.
Dia bilang, perempuan itu lebih sering make perasaan ketimbang logika. Jadi, sebisa mungkin gue harus menghargai dan ngertiin perasaan mereka nanti kalo udah dewasa. Nggak boleh jadi bajingan kaya cowok yang sialnya merupakan bapak gue.
Balik ke cerita, dengernya, Natusha ngangguk. Doi membenarkan posisi duduknya jadi ngadep gue sepenuhnya. "Ada yang mau gue tanyain," ucap dia.
"Apa?"
"Kenapa dulu lo mau tanggungjawab?"
Nice question.
Kenapa ya?
Karena Natusha cantik kali?Gue memasang senyum simpul sampe mata agak merem, "Karena gue nggak mau dibenci anak gue sendiri nantinya,"
"Tau darimana dia bakal benci lo?"
Hening sesaat sebelum gue kembali menjawab, "Karena gue pernah ada di posisi dia. Sebagai anak yang hampir dibuang orangtuanya. Gue nggak mau, anak gue mengalami hal yang sama,"
Ada ekspresi kaget yang secara nggak sadar terpasang pada wajah Natusha, sebelum dia berhasil netralin muka lagi. "Tapi kan gue nggak pernah minta pertanggungjawaban lo? Kenapa semangat banget mau tanggung jawab?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera : phrase of hope
General FictionTerbelenggu dalam ikatan menjijikan bernama pernikahan bukanlah sebuah hal yang Natusha cita-citakan. Harapannya untuk terbang jauh meninggalkan Indonesia guna menempuh pendidikan di negeri Paman Sam pupus begitu saja tatkala seorang pemuda brengsek...