31. Maaf

389 39 4
                                    

Beberapa hari ini gue menjalani hidup yang damai banget sama Natusha, sampai gue sendiri curiga besok bakal ada peristiwa besar apa nih saking tenangnya idup gue. Sekolah lancar, otak gue udah ada perkembangan, anak gue aktif dan sehat, Natusha anteng ga banyak tingkah. Udah macem hidup idaman.

Tapi jelas yang namanya firasat nggak cuma dateng tanpa alasan.

Tepatnya di sore yang sejuk ini, saat Natusha lagi nulis jurnal penelitian sebagaimana hobinya sedangkan gue lagi bersihin lensa kamera koleksi gue, suara ketukan pintu terdengar.

Nggak, ini bukan ketukan yang begitu dibuka bakal bunyi duar gitu.

Gue mendesah kesal sebelum akhirnya berdiri buat bukain pintu rumah, sedangkan Natusha masih fokus sama laptopnya. Sebagai anak pinter, doi emang hobi ngarang ngarang begitu. Biar otaknya nggak tumpul karena break sekolah, katanya.

Balik lagi ke gue yang udah bersiap buka pintu. Dan sosok yang ada di balik pintu adalah... Kenio.

Yup, Kenio yang bangsat itu.

Doi jalan masuk ke dalam rumah dengan senyum manis yang terpatri diwajahnya, seakan siap untuk disambut masuk ke rumah. Padahal belum gue suruh masuk. Beberapa papperbag berisi makanan untuk buah tangan dia ulurkan ke gue, yang jelas aja nggak gue terima.

Dapet perlakuan begitu dari anaknya, Kenio cuma tersenyum kecut aja sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. "Rumah Azura nggak banyak berubah, ya," ucapnya, "Nuansa hangat yang dia tinggalkan masih ada,"

"Cari siapa?" Tanya gue tegas, nggak mau berlama lama ngebiarin Kenio dalem rumah. Jelas rumah bunda yang sekarang jadi rumah gue ini hangat lah, orang dipake dengan benar dan halal. Nggak pernah dipake buat selingkuh apalagi cipokan sama selingkuhan. Cih, ga level.

Kenio berdehem, "Cari mantu papa," ucapnya.

Kali ini gue menerima uluran barang dari Kenio, nggak baik soalnya nolak rejeki. "Salah orang, kali," sangkal gue.

"Mana Natusha?" Doi kekeuh nyari bini gue, "Papa mau ngomong sama dia,"

"Maaf, saya nggak lagi open house"

Yang di sindir cuma ngeliatin gue males, udah terlalu capek gue ajak perang mulu.

Kenio mundur beberapa langkah, nepuk bahu gue sebelumnya nerbitin senyum teduhnya. "Tau aja Papa mau minta maaf,"

Jiakh. Kocak. "Minta maaf?"

Doi ngacir ke sofa ruang tamu, ngedahuluin gue. Udah berasa ke rumahnya sendiri ini mah. "Minta maaf," ujarnya lagi, "Perilaku Olfie tempo hari memang nggak bisa di tolerir lagi."

"Duh, gimana ya bro?" Gue mendengus, "Nggak afdol aja gitu kalo belum liat si pelaku sujud depan gue."

Kapan lagi kan bisa ngelunjak sama Kenio?

Doi menghela nafas pelan, tangannya mulai lancang ngeraih toples keripik pisang yang kebetulan ada di meja depan dia. "Iya, Papa tau olfie salah. Tapi dia terlalu defensif buat diajak kesini. Nggak bisa kah kamu ngertiin dia sekali aja? Berlaku seakan saudara pada umumnya. Kamu masih inget kan, kalau kalian sama sama anak Papa?"

Papa papa gundulmu. Sejak kapan lo jadi papa gue? Ada juga resign dari gelar bapak buat jadi papa bagi anak dia yang lain. 

"Gini, dengan anda mau ketemu sama Natusha dan mengutarakan beberapa kalimat yang anda rasa dapat menunjukkan itikad baik anda, fakta yang ditinggalkan adalah anda memberikan intimidasi tersirat kepada korban dari perilaku anak anda." Gue menjeda, "Jadi, saya menolak adanya permintaan maaf dengan perantara selain pelaku terkait yang berkenan menunjukkan penyesalannya."

Sebenernya, nggak susah buat gue manggil Natusha kemari dan ngobrol bareng Kenio. Doi mungkin bakal maafin Olfie kalau Kenio yang minta, meski nggak ngelupain sepenuhnya. Karena gimanapun, hal itu pasti berbekas dalam memorinya.

Tapi, akibat yang terjadi adalah gue semakin mengeksploitasi kebebasan Natusha untuk berekspresi. Secara nggak langsung menekan dia untuk menerima itikad baik dari pelaku yang bahkan minta maaf aja masih di wakilin bapaknya.

Natusha punya hak buat marah, punya hak buat menuntut atau bahkan ngejambak Olfie semau dia. Gue nggak mau, beberapa kalimat dari Kenio yang dateng tiba-tiba cuma buat nutupin kesalahan anaknya malah bikin Natusha makin kesel sama keadaan dia.

Kenio menghela nafas panjang, "Berurusan sama kamu memang nggak pernah mudah," doi nyindir, "Sejak awal memang kamu nggak pernah mau ngertiin orang lain."

Ebuset, pak. Dateng dateng mau minta maaf. Begitu maafnya ditolak, nyalahin perilaku gue. Kocak geming sekali belio ini.

"Iyedah yang paling pengertian," cibir gue, "Coba saya balik tanya, definisi pengertian itu apa? Apakah dengan lempar batu sembunyi tangan? Atau dengan selingkuh disaat istri sah nya kesakitan? Atau malah waktu ngurus anak dari hubungan gelap dengan penuh kasih sayang dan menelantarkan anak kandungnya? Atau dengan menutupi kejahatan seksual yang dilakukan anaknya?"

Kenio diem. Nggak bisa ngebantah sama sekali ucapan gue barusan. Jelas, dia bukan tandingan gue soal ngulik kesalahan orang.

"Papa cuma mau mendekatkan diri sama kamu, Lentera." Doi berucap, "Biar gimanapun kasarnya kamu, kamu tetap anak Papa."

Tangan gue mengepal. Agak emosi kalo doi udah bawa bawa status begini. "Sejak awal lo milih selingkuhan lo, nggak ada yang namanya Papa dalam hidup gue! Nggak usah sok peduli, kembaran gue mati aja lo asik party sama istri baru lo itu."

"Itu karena Papa punya alasan, nggak semua yang kamu lihat adalah hal terjadi sebenarnya."

Anjing. Salah mah salah aja. Nggak usah pake banyak pembelaan.

Justru saking percayanya gue sama lo, sampai gue menolak untuk denger segala kabar burung yang diucapkan orang-orang tentang lo. Layaknya bocah yang memandang ayahnya sebagai teladan, gue ngebela Kenio mati matian disaat Binar selalu nyeritain perilaku Kenio yang dia tahu. Sampai pada akhirnya, gue ngeliat sendiri dan mau nggak mau harus percaya. Sampai akhirnya, Binar nggak kuat lagi hingga memilih pergi. Meninggalkan gue yang ngerasa bego banget baru nyadar sekarang.

Gue berdehem, "Saya juga punya alasan untuk nggak bisa menerima kehadiran anda." lirih gue. "Inget nggak, pagi waktu saya minta izin nikahin Natusha karena udah ngerugiin dia? Apakah ada setitik rasa peduli anda untuk menyampaikan itikad baik atau sekedar mewakili saya meminta maaf kepada wali Natusha?"

Kenio diem lagi.

"Kagak, anjing!" Gue berseru kesal, "Jangan ngakuin diri lo jadi bapak gue kalo kewajiban orangtua aja lo nggak ngerti,"

"Lentera!"

Gue spontan noleh begitu suara teguran dari satu satunya wanita di rumah ini terdengar. Natusha berdiri di depan pintu kamar, menatap mata gue nyalang. Gue nunduk, nggak berani adu tatap sama doi disaat amarah gue lagi tinggi. Sedangkan Kenio justru memasang senyum tenang nya, melambai biar Natusha mendekat kesini.

Gue berdiri tepat saat Natusha mendudukkan dirinya di sisi samping gue, membuat dua pasang mata langsung menatap penasaran ke gue.

"Mau kemana?" Tanya Natusha dengan nada yang udah lebih ramah.

Gue tersenyum tipis, "Kamar."

Dan jelas aja, Kenio lagi bahagia menikmati kesempatan dia bisa ngebujuk Natusha buat maafin anak kesayangannya.

Lentera : phrase of hopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang