02. Canggung

109 16 12
                                    

Satria baru ingat jika mendapat mandat dari Juli untuk menyerahkan flashdisk dan headphone milik Oliv. Ketika dia menilik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri, jarum pendek jam menunjuk angka tujuh. Satria ragu, apakah Oliv sudah pulang atau masih di kantor? Ini sudah lewat jauh dari jam pulang. Ya, meskipun sebenarnya banyak yang sering begadang dan lembur di sini, sih.

Setelah semua pekerjaan selesai, Satria langsung mengemas beberapa barangnya yang ada di meja. Pulpen, buku catatan, dan id card berwarna biru. Semuanya dimasukkan ke tas, dia bergegas pergi meninggalkan ruang kerja. Sebelumnya lebih dulu mematikan pendingin ruangan dan lampu. Tidak lupa pula dia bawa flashdisk dan headphone yang harus dikembalikan pada pemiliknya.

Sebenarnya Satria heran. Juli bisa saja menyerahkan barang itu sendiri. Kenapa pula harus minta tolong padanya, sih? Memangnya tidak ada yang bisa dititipi selain dia? Padahal, teman-teman Oliv banyak. Ada Adam, Argi, dan Deon yang terlihat sering bersama. Memang, ya, Juli ingin membuatnya semakin mati kutu kalau berhadapan dengan wanita yang sering dipanggil Atun oleh Adam tersebut.

"Liv, gue duluan, ya. Lo bareng Argi, kan?"

Satria baru saja membuka pintu ketika mendengar suara Deon. Tidak buru-buru masuk, dia justru menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan. Hanya ada tiga orang yang dia lihat di sana. Oliv, Deon, dan satu teman baru yang Satria tidak ingat namanya.

"Iya, nanti gue bisa bareng dia atau naik ojol."

"Jangan naik ojol, nebeng aja. Atau gue antar sekarang?"

Kening Satria berkerut mendengar percakapan mereka. Nama Argi disebut, tetapi orangnya tidak ada. Kursi yang selalu ditempati oleh laki-laki itu juga kosong tidak ada barang apa pun.

"Gue bukan anak kecil, Yon. Udah, sana balik kalau mau balik. Gue masih ngurus ini bentar."

"Tapi—"

"Udah, sana!"

Oliv mendorong tubuh Deon menjauh. Bersamaan dengan itu, Satria buru-buru menutup pintu lagi. Dia agak menjauh dari ruangan kerja Oliv dan timnya. Diam-diam Satria menoleh ke arah Deon. Laki-laki itu memasang handsfree sembari fokus pada ponsel. Setelah beberapa saat, ponselnya disimpan dalam tas kemudian melenggang pergi. Ketika tidak ada orang lagi di sekitar, Satria memutuskan untuk kembali menuju ruang di mana Oliv berada.

Pelan, tangannya menyentuh handel pintu. Entah, mendadak dadanya bergemuruh tidak karuan. Padahal dia hanya akan mengembalikan barang milik Oliv yang dipinjam Juli. Namun, kenapa jadi seperti ini? Berkali-kali Satria meyakinkan diri jika ini bukan hal yang besar. Yang akan ditemui itu Oliv, bukan sosok yang berasal dari masa lalunya.

"Keep calm, Satria. Jangan lebay kayak nggak pernah lihat cewek."

Setelah lebih rileks, Satria hendak membuka pintu. Namun, belum juga melakukannya, pintu lebih dulu dibuka dari dalam. Membuat Satria terkejut karena disambut dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Ada perlu?"

Satria masih ingat jika dia orang baru di kantor ini. Bahkan dengan karyawan yang ada di perusahaan ini pun, belum semuanya kenal. Termasuk seseorang yang kini memandangnya seperti tengah menginterogasi maling ayam. Kalau begini, Satria ingin meralat semua hal yang pernah dia pikirkan. Sosok itu tidak benar-benar mirip dengan Eksa. Tidak sepenuhnya.

"Halo?"

"Ah, i-iya." Satria tersentak. Dia menurunkan tangannya dari handle pintu, lalu refleks menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ada perlu?" ulang Oliv.

Iya, Oliv. Seseorang yang mampu membuat Satria seperti mati kutu. Padahal tidak melakukan apa pun. Hanya membuka pintu dan memberikan tatapan datar.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang