03. Adam Malik Eror Pradhana

114 16 10
                                    

Semua yang tertulis di sini, baik tokoh, latar, pekerjaan, dan yang lain, semata-mata untuk kebutuhan cerita.

🍁🍁🍁

Sejak bekerja di OKM, Oliv semakin candu dengan yang namanya kopi. Minuman berwarna pekat itu menjadi temannya hampir setiap hari. Baik di kantor maupun di luar kantor. Baginya, kopi bisa menjadi pahlawan ketika dirinya harus bergadang karena pekerjaan. Pun, lebih dari itu, kopi mampu menenangkan pikiran yang awalnya semrawut. Kalau istilah kerennya, Oliv dan kopi adalah bestie. Bahkan di saat wanita itu tidak mampu membagi sesuatu yang membebani pikiran, kopi mampu memberikan sebuah ketenangan.

Aneh, kan? Memang. Ada orang yang memandang bahwa dirinya terlalu menyia-nyiakan waktu dengan terus menikmati kopi. Padahal, menurut Oliv itu semua tidak ada yang salah. Bulshit dengan orang yang menggembar-gemborkan perihal hidup sehat, tetapi masih sering makan junk food atau semacamnya. Bilangnya saja anti kopi dan minuman itu tidak cukup bagus untuk tubuh. Padahal makanan lain yang dikonsumsi juga tidak lebih baik dari kopi. Semuanya itu pilihan, kan?

Saat Oliv sibuk mengecap rasa khas dari secangkir kopi hangat di tangan, mendadak ponselnya bergetar. Benda pipih yang ada di atas meja samping tempatnya duduk, menampilkan sebuah nama di layar. Tertulis Adam Malik di sana. Entah ada hal apa hingga laki-laki yang lebih tua dua tahun dari Oliv itu menelepon? Biasanya Adam akan memenuhi ruang chatnya dengan Oliv, atau grup Punakawan.

"Hmm ..."

Sebenarnya, Oliv adalah tipe orang yang malas berbicara lewat telepon. Bukan karena alasan tertentu, sih, hanya tidak begitu nyaman. Namun, teman-temannya yang lain seolah tidak peduli dan sering melakukan hal tersebut.

"Buset ham hem doang." Adam memulainya dengan menggerutu. "Tun, sibuk nggak? Temenin gue."

Kening Oliv berkerut, lalu kembali menyesap kopi yang masih sedikit mengepulkan asap. "Ke mana?"

"Ke mana pun, yang penting gue nggak di kos."

"Males."

Terdengar suara decakan Adam di seberang. "Ini penting. Demi kemaslahatan umat."

"Lo kenapa, sih? Ajak yang lain, kan, bisa. Argi tuh, atau Deon."

"Ya, masa gue kencan sama cowok? Gue bukan komunitas pelangi, ya."

Kelopak mata Oliv melebar mendengar penuturan Adam. "Lo ngajak gue kencan? Ogah!"

"Please, Atun! Besok gue beliin seblak seporsi jumbo, deh."

Oliv kadang merasa heran dengan dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa bersahabat dengan orang macam Adam? Kepribadian mereka berbanding terbalik hampir seratus delapan puluh derajat. Adam yang heboh sedangkan Oliv cenderung cuek dan bodo amatan. Selain Adam, Argi juga sama saja. Bedanya laki-laki itu sedikit lebih kalem. Ini hanya sedikit, ya, sedikit sekali. Berbeda dengan Deon yang memang mirip dengan Oliv. Laki-laki itu cenderung cuek.

"Lo abis kepentok pintu apa gimana, sih? Gue nggak doyan seblak."

Hal lain yang membuat seorang Oliviana Adhisti heran adalah seblak. Apa nikmatnya kerupuk lembek disiram kuah pedas seperti itu? Jika Oliv dibayar hanya untuk seporsi seblak, dia tidak akan menerimanya. Lebih baik makan nasi campur garam daripada harus menyantap makanan tersebut.

"Gue nggak menerima penolakan, Tun. Pokoknya gue maksa."

"Ogah!" Oliv merotasikan bola matanya, sembari menandaskan kopi yang tersisa sedikit. "Ajak Mbak Juli aja sana!"

"Ya, masa Mbak Juli?"

"Ya, masa gue?"

Oliv bisa mendengar jelas jika Adam mengerang frustrasi, tetapi wanita itu tidak peduli. Untuk apa juga, kan? Memang sering tidak jelas kalau itu menyangkut seorang Adam Malik Pradhana. Tidak seperti namanya yang sama dengan wakil presiden RI yang ketiga, Adam Malik yang satu ini tidak berwibawa sama sekali.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang