15. Mulai Jatuh

57 6 2
                                    

"Permisi, Pak, green tea latte?"

Satria mendongak cepat ketika suara seseorang terdengar begitu dekat. Benar saja, ada sosok pemuda membawa nampan berisi satu gelas green tea latte yang berdiri di dekat mejanya. Kalau dilihat-lihat, Satria merasa tidak asing dengan wajah pemuda itu. Seperti pernah melihatnya, tetapi di mana?

"Pesanan saya?" Satria menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan mengarah pada pemuda berambut cokelat gelap itu. Bukan karena pesanan salah, sih. Namun, Satria tidak salah dengar tadi, kan? Serius, Pak?

"Iya. Es green tea latte yang large?"

Memang benar itu pesanan Satria. Namun, harus banget dipanggil, Pak, ya? Satria kemudian menilik lagi pakaian yang dikenakan. Kaus putih polos dengan outer kemeja warna biru telur asin. Apakah ini adalah gaya bapak-bapak?

"Benar, green tea latte large. Makasih."

"Sama-sama, Pak. Selamat menikmati."

Kening Satria dibuat berkerut dengan salah satu karyawan Bemi itu. Ya, bukan apa-apa, sih. Namun rasanya tetap aneh dipanggil dengan sebutan bapak. Bahkan di kantor tidak ada yang memanggilnya demikian. Bukan berarti Satria tidak sadar umur, tetapi ... Pak?

"Naja, jangan ngawur!"

Itu Bemi, membuat Satria langsung beralih ke sumber suara tersebut. Wanita itu tengah menatap pemuda yang barusan mengantar pesanan Satria. Terlihat mengintimidasi, tetapi yang ditatap hanya cengar-cengir. Tuh, kan, Satria jadi makin merasa familiar.

"Itu sohib gue, belum bapak-bapak meski udah tua."

"Eh, maaf Kak Bemi." Pemuda yang dipanggil Naja itu menggaruk tengkuknya dengan sebelah tangan yang bebas.

Bemi hanya mengangguk, lalu berjalan menghampiri Satria yang masih menoleh ke arahnya. "Maklumin, ya, bocah agak-agak soalnya."

Kening Satria berkerut, disusul tawa kecil yang lolos dari celah bibirnya. "Agak kaget, sih, cuma kenyataan emang udah hampir kepala tiga."

"Alah, masih lama." Bemi mengibaskan sebelah tangannya. "Masih Agustus nanti, kan?"

Satria mengangguk. "Ngomong-ngomong, kayaknya aku pernah lihat anak tadi, deh, Bem."

"Naja? Oh, emang pernah ikut gue ke Jogja, sih. Nempel mulu dia sama adek gue."

"Pantesan, kayak nggak asing gitu."

"Iya, dulu pernah gue ajak mampir ke Guna Multi, waktu ketemu Eksa," kata Bemi lagi. "Eh, ngomong-ngomong soal Eksa, rasa penasaran gue soal cewek itu udah terbayar."

Alis Satria terangkat, mewakili sebuah tanya yang tidak terlontar dari bibirnya. Wanita itu baru saja menghampirinya setelah sibuk di meja kasir. Namun, bukan sapaan hangat yang diterima karena agak lama tidak bertemu, justru pernyataan lain yang terdengar. Serius, apakah tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan? Lagi pula, apa hubungannya Eksa dengan rasa penasaran Bemi soal seseorang?

"Temen kerja lo yang mirip Eksa," kata Bemi seolah tahu isi kepala Satria. "Kemarin dia ke sini, sama cowok pake kacamata. Tinggi, ganteng, kayaknya pacar, sih."

Pacar?

Selama mengenal kurang lebih lima bulan, Satria tidak pernah melihat Oliv bersama laki-laki yang disebutkan oleh Bemi. Enam hari dalam seminggu Satria bertemu, wanita itu hanya berada di sekitaran tiga sahabat prianya. Adam, Deon, dan Argi. Selebihnya, Satria merasa asing dengan laki-laki berkacamata tersebut. Atau ... jangan-jangan memang Oliv sudah memiliki pacar? Namun, sengaja tidak memperlihatkannya pada orang-orang. Aduh, Satria jadi kepikiran.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang