12. Untuk Oliv

56 9 4
                                    

Adam Malik Eror Pradhana
Tun, katanya ga masuk? Tapi kenapa di kantor?
Udah baikan?

Kening Oliv berkerut membaca satu pesan dari Adam. Dia kemudian menengok kanan kiri, memastikan jika laki-laki itu tidak ada di dekatnya. Soalnya, tadi pagi Adam bilang jika sedang ke luar kota karena urusan pekerjaan. Mengejutkan sekali jika belum begitu sore dan dia sudah kembali. Lagi pula, siapa yang memberitahu laki-laki itu? Tadi pagi dia dikeluarkan dari grup oleh Argi. Kecuali Adam memohon-mohon pada Deon dan kembali masuk grup. Entah, Oliv tidak begitu peduli. Sahabatnya itu memang kebanyakan drama.

Menghela napas panjang, Oliv meletakkan ponsel di meja. Lantas merebahkan kepala di sana. Membiarkan pesan Adam tidak terbalas. Dia sedang dalam suasana hati yang tidak begitu baik hari ini. Jadi, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik Oliv mendiamkan dulu. Daripada nanti berujung dia merepet panjang lebar pada Adam.

"Liv, mau balik belum? Gue antar."

Kelopak mata Oliv berayun lambat ketika Deon menghampirinya. Dia hampir jatuh tertidur jika suara laki-laki itu tidak didengarnya. "Emang udah jam empat?"

Deon berdecak pelan. "Makanya, punya jam itu difungsikan dengan benar. Lagian jam dinding segede gaban kayak gitu apa nggak kelihatan?"

"Nggak sempat lihat jam." Oliv memejamkan mata. Selain mengantuk, dia sebenarnya malas pulang. Pesan dari Aksa tidak ada yang dia balas sama sekali. Begitu juga dengan panggilan yang berujung tidak terjawab. "Yon, gue nginep rumah lo aja."

Deon tersentak, lalu mendudukkan tubuhnya di kursi kosong samping Oliv. "Lo kesambet apaan, dah? Jangan gila!"

Oliv tidak menjawab. Matanya tetap terpejam, meskipun belum tidur. Dia hanya mengantuk dan perutnya sedikit tidak enak. Salahnya sih, sudah tahu sedang tidak baik-baik saja, tetapi nekat memesan kopi di kantin. Meskipun ujungnya tidak habis, hanya terminum beberapa teguk. Definisi keras kepala yang sesungguhnya.

"Lo kasih tahu Adam kalau gue masuk, ya?" tanya Oliv tanpa memperhatikan Deon. "Nyebelin banget kirim wa mulu."

"Dia maksa gue buat add di grup lagi." Jeda sebentar selama beberapa saat. Oliv mendengar seperti Deon tengah mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik. "Jadi, ya, gue add lagi. Males kalau dia berisik. Terus, dia baca chat Argi mungkin? Jadinya tahu."

Oliv mengangguk pelan, tanpa membuka mata sama sekali. Tangannya agak kesemutan karena dijadikan tumpuan kepala, tetapi dia enggan beranjak.

"Nih, makan dulu," kata Deon sembari menggeser sesuatu. Ketika Oliv membuka mata, ada satu bungkus roti isi yang lumayan besar berada di depan wajahnya. "Gue tahu, lo belum makan."

"Roti?"

Deon mengangguk. "Tadi gue ke minimarket deket kantor beli camilan, terus beli ini sekalian. Ayo, dimakan dulu."

Tangan Deon meraih kembali bungkusan roti tersebut, lalu membukanya. Dia sodorkan satu potong ukuran kecil pada Oliv, membuat wanita itu tersenyum kecil.

"Gue bukan bocah, Yon. Bisa makan sendiri." Oliv bangkit, lalu memperbaiki posisi duduknya jadi lebih tegak. Diambilnya sepotong roti yang ada di tangan Deon. Tidak ingin merepotkan sahabatnya lebih banyak, Oliv menurut saja untuk memakannya. "Makasih."

🍁🍁🍁

"A' Adam nggak di kos, ya? Aku udah di depan padahal. Nunggu lama, mana bawa seblak porsi jumbo."

Menurut Adam, menjadi orang yang fast respons itu tidak selamanya baik. Kadang ada waktu di mana seseorang harus bodo amat pada sekitar atau pada orang lain yang kiranya agak mengganggu. Sayangnya, kecepatan jempol Adam kadang di atas rata-rata. Dia adalah salah satu orang yang sangat fast respons, terlebih jika Oliv yang menghubunginya. Bisa dipastikan wanita itu hanya perlu menunggu beberapa detik untuk mendapat pesan balasan. Kecuali di saat-saat tertentu Adam tidak pegang ponsel. Mandi, tidur, atau panggilan alam.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang