22. Cerita Tentang Dia

72 11 10
                                    

"Eksa itu siapa?"

Sungguh bukan gaya Oliv untuk kepo dengan kehidupan orang lain. Hidup ketiga sahabatnya saja dia tidak banyak bertanya, kenapa juga harus penasaran dengan orang lain? Sederhana saja, Oliv tidak ingin hidupnya dikepoin balik, jadi tidak ada gunanya juga ingin tahu lebih tentang orang-orang. Namun, sejak pertama kali berjumpa dengan Satria, satu nama terus mengusik pikirannya. Awalnya memang tidak begitu mengganggu, tetapi kejadian beberapa waktu lalu membuat Oliv penasaran sekaligus bingung. Tiga kali dipanggil Eksa oleh orang yang berbeda. Satria, adiknya, dan sosok jangkung yang kini dia ketahui adalah suami pengelola Kafe Abjad.

"Eksa?"

Oliv menoleh, mempertemukan pandangannya dengan Satria. Ada sendu yang bisa Oliv tangkap, seperti tengah merindukan seseorang yang lama tak ditemui.

"Sorry, gue lancang." Oliv buru-buru meminta maaf karena merasa ini pertanyaan tidak penting. "Nggak perlu dijawab juga."

"Nggak apa-apa, Liv. Kayak apaan aja, deh."

Di luar dugaan, Satria justru tertawa kecil. Entah sejak kapan, keduanya sering menghabiskan waktu di rooftop kantor ketika petang menjelang. Sebenarnya Oliv yang sering lebih dulu ke sana. Menghabiskan waktu setelah jam kerja selesai sembari menunggu untuk pulang. Jujur dia malas pulang lebih awal sejak kejadian beberapa waktu lalu yang kembali mengacaukan hati dan pikirannya. Belum lagi dia harus melihat Aksa bonyok di bagian wajah. Lalu, di saat Oliv sibuk berdiam bertemankan kopi kalengan, Satria selalu datang.

"Eksa itu temanku." Satria mulai bercerita. Pandangannya mengarah ke depan, menyaksikan kesibukan ibukota di sore hari. "Maybe, special friend? Nggak tahu juga, tapi aku menganggapnya begitu. Entah, ya, aku dianggap sebaliknya atau enggak."

Oliv tidak menyela, pun tidak menatap Satria. Dia hanya mengikuti pandangan laki-laki itu yang mengarah ke depan. Namun, Oliv mendengarkan. Rasa ingin tahunya tentang siapa itu Eksa semakin membuncah.

"Kita kenal udah lama banget. Dari awal kuliah kayaknya. Kita satu angkatan karena aku dulu sempat break setelah lulus SMA. Terus baru lanjut dua tahun kemudian." Kelopak mata Satria menyipit, menghalau cahaya matahari yang mulai turun ke peraduan.

"Kamu pernah dengar soal pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu nggak akan bertahan lama?"

Satria menoleh. Oliv bisa melihatnya dari ekor mata. Laki-laki itu menatapnya, dengan senyum yang sangat tipis.

"Maksud lo mereka berantem?"

"Bukan." Satria menggeleng. "Pertemanan seperti itu biasanya nggak bertahan lama karena salah satu atau dua-duanya kalah sama perasaan."

Ah iya, Satria benar. Bahkan Oliv sendiri mengalaminya. Bukan dia yang kalah dengan perasaan, tetapi Argi. Laki-laki itu terhitung sudah dua kali menyatakan perasaannya pada Oliv. Padahal ujungnya juga sama, wanita itu menolak. Tidak ada alasan untuk menerima sesuatu yang tidak dia rasakan, kan? Baginya, Argi hanya sebatas sahabat, tidak lebih.

"Lo suka sama Eksa?" tanya Oliv asal. Namun, tanpa diduga Satria mengangguk pelan. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya. Oliv bisa melihat ada sorot rindu yang terpancar dari Satria ketika menyebut nama Eksa.

"Aku kalah sama perasaanku. Ternyata eksistensi Eksa berdampak besar. Bukan karena dia cantik, bukan karena dia pintar, tapi karena dia adalah Eksa."

Oliv menghabiskan sisa kopi yang tinggal sedikit, lalu meletakkan kalengnya di lantai begitu isinya tandas. "Kalian nggak menjalin hubungan?"

"No, kita hanya seperti ini sampai akhirnya dia nikah."

Menikah?

"Dia akad tahun lalu, beberapa minggu sebelum aku pindah ke Jakarta." Satria menunduk, masih dengan senyum tipis yang menghias wajah. Namun, daripada senyum bahagia, Oliv melihatnya sebagai senyum sendu. Senyum yang memendam rasa rindu begitu besar.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang