19. Seseorang Bernama Eksa

60 6 3
                                    

"Mbak Eksa, kan? Kok, bisa di sini?"

Satria baru saja membuka aplikasi chat untuk menghubungi Qiana. Namun, suara yang familier itu justru terdengar ketika Oliv sudah keluar dari mobil. Jujur Satria agak panik. Padahal tadi sudah bilang jika akan menjemput gadis itu di stasiun. Buru-buru Satria turun, memastikan jika suara itu memang milik adik perempuannya yang akan bertandang. Dan benar saja, gadis berhijab itu berdiri tidak jauh dari mobil.

"Qi, tadi Mas bilang mau jemput. Kenapa udah sampai sini? Naik apa?"

"Mas, Mbak Eksa?"

Ekspresi Qiana sama terkejutnya dengan Satria ketika dulu bertemu Oliv untuk pertama kali. Qiana juga menganggap jika wanita itu adalah Eksa. Bahkan pertanyaan Satria barusan tidak dijawab. Adiknya itu masih ternganga dengan sosok yang berdiri kaku di dekat mobil.

"Mbak bukannya di Jogja, ya? Mas Husni mana? Mbak sendirian?"

Berondongan pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Qiana. Sedangkan yang ditanya masih bergeming tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Duh, ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Bisa bahaya jika Qiana nanti malah meracau ke mana-mana.

"Qi, namanya Mbak Oliv. Temen kerja Mas." Satria lebih dulu menimpali. "Eksa nggak di sini. Kamu ada-ada aja."

"Masa, sih?" Qiana masih tidak percaya. Atensinya mengarah penuh pada Oliv. Dilihatnya sekali lagi wanita itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada bedanya sama sekali. Bahkan poni tipis yang menutupi kening pun sama. "Nggak mungkin, deh."

"Qi,"

"Satria, gue masuk duluan." Oliv yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suara. Sebelah tangannya terulur untuk menggaruk tengkuknya. "Ditungguin Adam soalnya. Bye!"

Wanita itu kemudian membawa langkahnya masuk kantor. Meninggalkan Satria dan Qiana yang masih terkejut.

Berdecak pelan, Satria menarik tubuh sang adik ke dalam pelukan. "Tadi mas udah bilang, tunggu dulu. Nanti dijemput."

"Mas lama."

Satria tersenyum tipis, lantas mengurai pelukannya. Ditatapnya Qiana yang selama beberapa bulan ini tidak dia temui. Rasanya sudah sangat lama, padahal belum ada satu tahun.

"Kamu, kok, tahu alamat kantor mas?"

"Ada ojol," jawab Qiana. "Tapi bener, deh, Mas, yang tadi bukan Mbak Eksa?"

Sejak awal, Satria tidak bicara apa-apa pada Qiana perihal ini. Ketika telepon atau berkirim pesan, dia hanya menceritakan hal-hal lain yang bisa diceritakan. Tentang Bemi, Kafe Abjad, indekos, atau cerita lain yang sekiranya Qiana boleh tahu. Namun untuk satu ini, Satria rasa tidak perlu untuk diceritakan. Meskipun pada akhirnya sang adik malah bertemu langsung, alih-alih mendengar lewat cerita.

Satria tidak bermaksud apa pun, tetapi dia tidak ingin terlarut dengan masa lalu dengan mengungkit semuanya. Diam seperti ini, dia mencoba untuk terus menerima dan berdamai dengan semuanya. Tidak mudah memang, buktinya ketika Qiana menyebut nama itu lagi, angan Satria langsung flashback. Mengingat kembali senyum manis yang dulu bisa dilihatnya setiap hari.

"Jangan ngawur!" Satria mengambil alih paper bag di tangan Qiana. Dia menarik adiknya itu untuk masuk ke kantor. Suasana sudah sepi, karena jam pulang sudah berlalu beberapa saat lalu. Jadi, tidak apa-apa dia mengajak Qiana masuk sejenak. Memintanya menunggu di lobi sembari Satria mengambil tas di ruang kerja. "Dia Oliv, bukan Eksa. Jangan nanya gitu lagi kalau nanti ketemu, oke?"

"Tapi, Mas, kayak nggak bisa dibedain. Macam pinang dibelah dua."

"Emang kamu tahu pinang dibelah dua itu bentukannya kayak apa?"

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang