21. Sisi Lain Adam

71 8 2
                                    

Adam itu tampan, banyak orang yang bilang demikian. Bahkan hanya dengan sekali lihat, parasnya yang rupawan bisa membuat lawan jenis langsung klepek-klepek. Tidak sedikit wanita yang mengejarnya sejak masih kuliah dulu. Dari yang biasa saja sampai yang tajir melintir. Kalau dipikir-pikir, keren juga, ya, kemampuan alaminya. Tanpa harus bersusah payah, dia tinggal pilih mana yang kiranya cocok dan pas dengan hatinya. Sayang, hidup tidak semudah dan seindah dalam drama romansa yang sering ibunya tonton.

Kalau boleh jujur, disukai orang karena tampang itu tidak enak. Iya kalau tulus berteman, jika yang terjadi justru sebaliknya? Bukannya untung, malah buntung.

Dulu sekali, ketika usianya masih berada di awal dua puluhan, Adam pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan. Sesuatu yang kemudian membuatnya menjadi sosok Adam yang sekarang. Terlihat bobrok, tidak jelas, bahkan menyebalkan untuk beberapa orang. Namun, itu jauh lebih baik daripada dimanfaatkan karena tampang. Lebih baik begini dengan tiga orang sahabat yang cukup membuatnya nyaman. Mereka tidak membela ketika Adam salah, pun tidak membanggakan ketika Adam melakukan hal baik. Dan yang pasti, ketiganya tidak bersahabat dengan Adam karena tampang.

Ya kali? Sinting jika alasannya begitu.

Okelah, misal yang beralasan demikian adalah Oliviana Adhisti, Adam bisa menerima. Namun jika Argi atau Deon, mereka benar-benar gila, sih. Bisa merinding disko jika begitu alasannya. Ya, meskipun bisa jadi Argi dan Deon mengakui kegantengan Adam.

Tunggu! Kenapa dari tadi Adam narsis sekali? Padahal tidak berguna karena tidak akan mendapat hadiah triliunan rupiah. Ini dunia nyata, bukan sinetron.

"Dam, gue nebeng pulang, ya."

Bicara soal tampan, Adam jadi penasaran pandangan Oliv soal dirinya. Dia adalah orang yang sangat cuek. Tidak begitu peduli jika memang tidak penting untuk dirinya. Pun, bukan orang yang kepo dengan urusan orang lain. Justru yang kepo Adam. Kenapa, ya, dia bisa dekat dan bersahabat dengan wanita ini? Bahkan tanpa melibatkan perasaan sama sekali. Tidak seperti Argi yang dengan nekat sudah dua kali mengutarakan isi hati. Bucin memang beda.

"Siap, Neng Atun. Mau langsung balik atau mampir dulu?"

Nama Atun memang kurang kece, tetapi itu adalah panggilan sayang dari Adam untuk sahabatnya yang paling cantik. Iyalah, yang lain berjakun semua.

"Ke rumah."

"Siap!"

Adam cengar-cengir, lalu melingkarkan lengannya di pundak Oliv. Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran kantor. Suasana di sana belum begitu ramai. Sepertinya masih banyak yang berkutat dengan pekerjaan meskipun ini sudah jam empat lebih. Untuk hari ini, Adam tidak ingin berlama-lama di kantor. Apalagi Atun-nya mau nebeng.

"Ngomong-ngomong, lo nggak pengin belajar motor lagi, Beb?" Adam menarik lengannya, lalu beralih mengambil helm yang ada di dalam jok motor. Benda itu selalu dibawanya ke mana pun, tentu untuk sang sahabat. Diserahkannya benda bulat tersebut pada Oliv. "Biar nanti gue gantian dibonceng lo."

"Kenapa? Capek gue nebeng terus?"

Buru-buru Adam menggeleng. Tentu bukan itu alasannya. Justru Adam senang, kok, bisa selalu membantu Oliv. Menjadi salah satu orang terdekatnya yang dipercaya. Meskipun dibalut dengan kerecehan tidak penting.

"Nggak gitu." Tangan Adam terulur untuk mengaitkan pengait helm yang dipakai Oliv. "Kan, nggak selamanya gue di samping lo."

Wah, gila! Adam berucap seolah akan menghilang dari peredaran detik ini juga. Namun, hal tersebut memang jadi salah satu alasannya. Dia tidak bermaksud memaksa Oliv untuk bisa mengendarai sendiri. Trauma yang wanita itu terima karena belajar naik motor tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Namun, tidak selamanya orang-orang terdekat akan selalu berada di sekitarnya, kan? Kalau Adam tidak lagi di Jakarta, siapa yang akan suka rela melakukan apa pun untuk Oliv?

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang