06. Dua Sisi

72 11 5
                                    

"Mbak, nggak balik?"

Jarum pendek jam menunjuk angka enam ketika Juli mendengar suara Oliv. Begitu dia mendongak, sosok yang lebih muda darinya itu sedang berdiri di dekat kursi tunggu lobi kantor yang saat ini Juli duduki.

"Bentar lagi. Lo balik bareng siapa?"

"Biasa, Argi." Oliv tersenyum. "Mbak nunggu jemputan?"

"Gue nunggu makanan, tadi pesen sekalian sebelum balik."

"Oh, kalau gitu gue duluan, Mbak."

"Sip, hati-hati, Liv!" Kedua sudut bibir Juli tertarik. Pandangannya mengikuti langkah Oliv keluar kantor.

Kata banyak orang, rumput tetangga itu lebih hijau dari punya sendiri. Atau kalau istilah jawanya hidup itu wang sinawang. Dari sekian banyak orang yang mungkin memandang Juli demikian, dia juga merasakan hal yang sama. Dan orang yang Juli rasa banyak mendapat keberuntungan itu baru saja menyapanya. Iya, Oliviana Adhisti.

Juli tahu, semua yang dia lihat belum tentu sama dengan kenyataan yang terjadi. Pun apa yang dilihat orang mengenai dirinya belum tentu persis seperti itu. Namun, yang namanya manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang dicapai, kan?

Di mata Juli, Oliv itu cuek. Namun sebenarnya dia orang yang hangat ketika sudah saling mengenal. Di sisi lain, Juli merasa jika wanita itu begitu beruntung memiliki tiga teman dekat yang sangat peduli. Juli sering melihat Oliv berangkat dan pulang kantor bersama salah satu dari ketiganya. Paling sering Argi atau Adam. Hal yang diam-diam membuat Juli merasa iri. Ada banyak suara yang kemudian berdesakan dalam kepala. Mengejeknya karena masih sendiri pada usia yang sudah memasuki kepala tiga. Jangankan tunangan, pacar atau gebetan saja Juli tidak punya. Sungguh menyedihkan bagi wanita seperti dirinya yang terus didesak untuk menikah.

"Bengong aja. Nanti jadi Bagong kalau nggak kedip gitu."

Juli kaget. Hampir saja dia terjungkal jika tidak ada kursi lain di sampingnya. Untungnya, kursi ruang tunggu lobi kantor ini ada beberapa. Jadi, Juli tidak perlu membuat adegan memalukan karena jatuh terjungkal. Lagi pula, kenapa sih, orang satu itu hobi banget mengagetkan Juli? Sudah tahu kalau dia itu kagetan, malah sering berbuat demikian.

"Adam!"

"Kaget, ya? Iya, tahu kok, kalau Aa ganteng." Adam, laki-laki jangkung itu menggoda Juli dengan menaik turunkan alisnya beberapa kali. Tidak lupa senyum tipis yang menghias wajah, membuat Juli agak menahan napas karena melihatnya dalam jarak sedekat ini. Mana sepi pula.

"Iya, kaget lihat dugong darat magrib-magrib begini."

Adam tergelak, sesuatu yang memberikan sebuah efek aneh dalam diri Juli. Seperti perasaan senang yang menggelitik. Memenuhi dadanya hingga rasanya seperti ada sesuatu yang akan meledak. Juli tidak tahu persis, tetapi semua ini bermula ketika Adam meminjamkan jas hujan tahun lalu. Saat di mana sosok konyol itu terlihat serius, kemudian pulang menerobos hujan dengan merelakan jas hujan satu-satunya dipakai Juli.

"Nanti ada dugong beneran, nangis."

Sayangnya, raut serius dan tenang yang pernah Juli lihat itu tersembunyi di balik tingkah tidak jelasnya. Tidak heran jika sering adu mulut dengan Oliv. Meski tidak setiap hari menyaksikan, tetapi Juli tahu. Ah, betapa friendship goals sekali keduanya.

"Balik sana!"

"Harusnya Mbak Juli yang balik."

Adam tidak beranjak, justru mendudukkan tubuhnya di samping Juli. Tidak peduli meskipun wanita itu hampir terjungkal lagi. Kali ini bukan karena kaget, tetapi lebih dari itu. Perasaan aneh yang hanya dia rasakan ketika berada dalam radius sedekat ini dengan seorang Adam Malik Pradhana.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang