29. Undangan

60 9 25
                                    

Adam termangu di gazebo indekos ketika hari sudah mulai gelap. Bertemankan sebotol soda dan sekotak martabak, dia duduk bagaikan orang yang patah hati. Bedanya, tidak ada jejak air mata yang mengering di pipi laki-laki itu, kelopak matanya juga tidak membengkak. Semuanya terlihat normal, hanya hati yang mendadak seperti jungkir balik tidak karuan.

Sebenarnya bukan apa-apa, dia hanya masih memikirkan kata-kata Deon tadi di kantor. Perkara perbedaan pendapat keduanya tentang laki-laki yang dekat dengan Oliv. Jujur, Adam tidak benci atau menaruh rasa kesal dengan Satria, kok. Dia hanya agak khawatir kalau sesuatu yang tidak diinginkan menimpa sahabat perempuan yang amat disayanginya. Entah harus bagaimana sikap Adam jika itu semua terjadi, yang jelas Satria tidak akan dia biarkan begitu saja.

Menghela napas panjang, Adam mengambil botol soda yang masih menyisakan setengah isinya. Dia tandaskan minuman tersebut, lalu melempar botolnya ke arah tempat sampah yang berada di dekat gerbang. Lemparannya cukup kuat, tetapi sepertinya melenceng dari target. Pasalnya, ada suara lain yang terdengar ketika botol itu menghantam sesuatu. Suara seseorang yang kemudian dia ketahui adalah Marina. Wanita itu agak berteriak ketika terkena lemparan botol Adam.

"A' Adam! Sengaja mau lempar ke aku, ya? Sakit, tahu!"

Adam meringis pelan, antara merasa bersalah karena lemparannya mengenai orang, atau apes karena kedatangan wanita itu. Sekian kali Adam berikan perlakuan yang menyebalkan, sekian kali pula Marina tidak menyerah dan terus mengejarnya. Kadang dia heran, apa sih yang wanita itu cari? Padahal Adam sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuatnya kesal. Bukannya menjauh, malah mendekat.

"Lo ngapain ke sini, Mar?"

Marina merengut, lalu membawa langkahnya mendekati Adam yang duduk di gazebo. Ada satu kantong plastik warna putih yang tergantung di jemari tangan kanannya. Begitu sampai di dekat Adam, dia letakkan kantong plastik itu di gazebo.

"Aku bawain seblak."

Kening Adam berkerut. Dia lantas mengalihkan padang pada bawaan Marina yang sudah dibuka. Ada dua cup seblak porsi jumbo di sana. Cup yang di atas bertuliskan level lima. Biasanya, Adam tidak begitu peduli jika wanita itu membawakannya seblak. Karena hampir setiap bertemu yang dibawa makanan itu. Entah karena Marina menganggap Adam pecinta seblak, atau dia sendiri yang doyan makanya beli. Namun, kali ini Adam agak tergoda. Diambilnya satu cup seblak level lima, kemudian dia santap tanpa menunggu ucapan Marina lagi.

"Ebuset, pedes amat!"

Sepertinya ini bukan level lima, sih, melainkan level sepuluh atau lebih. Meskipun Adam biasa makan pedas, yang satu ini rasanya tidak tertahankan. Bibirnya auto panas, berasa jontor seketika.

"Mar, minum, Mar!" Adam kelimpungan. Sodanya sudah habis dan dia tidak membawa minum lagi selain itu. Dikibaskannya sebelah tangan di depan mulut, berharap dengan begitu bisa menghilangkan panas di sana. "Mar, air!"

"Ih, A' Adam! Lagian siapa suruh ambil yang ini?" Marina menunjuk tutup cup seblak yang bertuliskan level lima. "Ini pesanan aku. Punya Aa yang bawah, level dua."

"Aerrrrr!"

Tidak sabar menunggu Marina yang sepertinya tidak peduli, Adam akhirnya beranjak. Dia terbirit menuju keran yang ada di dekat kamar paling ujung lantai satu. Diputarnya keran tersebut, lalu dia berkumur beberapa kali dan membasahi area mulut dengan air sebanyak mungkin. Baru ketika dirasa panasnya sudah berkurang, Adam kembali menghampiri Marina. Wanita itu sibuk dengan seblak yang tadi Adam icip tidak lebih dari lima sendok.

"Gila, lo. Pengin bikin gue kena tipes dadakan?"

Marina hanya melirik Adam sekilas, lalu kembali menekuri seblak berkuah merah itu. "Makanya, tanya dulu sebelum makan. Main embat aja. Padahal biasanya juga nggak begitu peduli."

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang