35. Memori

39 4 0
                                    

"Bang, jangan gangguin adeknya! Biar bantuin mama buat kue dulu."

Aksa memaksa ingatannya kembali pada masa ketika semuanya masih baik-baik saja. Berbekal sebuah video lawas yang diputar pada laptop, laki-laki berkacamata itu duduk lesehan di ruang tengah. Ada secangkir kopi di samping laptop yang sudah tidak lagi mengepulkan asap, tetapi belum berkurang seberapa. Fokusnya hanya tertuju pada rangkaian aktivitas yang terekam dalam video. Waktu di mana menjelang lebaran dan mama membuat kue sendiri.

"Bang, nggak gini bentuknya! Ih jangan ngerusuh!"

Sudut bibir Aksa berkedut. Adik bungsunya yang protes kala itu terlihat begitu manis, meskipun sedang kesal. Bahkan sang kakak pertama yang masih saja sibuk mengganggu tidak menghentikan aksinya. Sedangkan Aksa memilih untuk mengabadikan momen itu dengan kamera pertamanya, hadiah ulang tahun dari papa.

Tidak ada prasangka apa pun. Harmonis adalah sebuah padanan kata yang sangat tepat untuk menggambarkan keadaan keluarganya saat itu. Semua limpahan kasih sayang tidak pernah terputus. Mereka bertiga sebagai saudara selalu mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan.

"Ini namanya lidah kucing." Tama tersenyum lebar sembari menarik kamera Aksa untuk merekam hasil karyanya.

Kalau Aksa bilang, sih, kue yang Tama buat tidak ada mirip-miripnya dengan kue lidah kucing. Bentuknya lebih mirip kastengel gagal.

"Lidah kucing yang ini."

Kini Si Bungsu yang menarik kamera Aksa untuk merekam hasil karyanya bersama mama kala itu. Nah, ini baru lidah kucing. Semua kue yang belum matang itu berjajar rapi di loyang. Setelah itu mama mengambilnya untuk dimasukkan ke dalam oven.

"Bang Tama, bantu beresin sisa-sisa bahan kuenya aja. Jangan gangguin adeknya kayak gitu!"

Aksa ingat, sore itu berakhir dengan Tama yang terkena omel mama karena memainkan tepung. Dia mencoret wajah adik perempuannya dengan benda bubuk berwarna putih itu. Semua masih terekam apik, hingga video berakhir pun, Aksa masih ingat dengan semua hal yang terjadi setelahnya.

Menghela napas pelan, Aksa segera menutup aplikasi pemutar video. Dia masih membiarkan laptopnya menyala begitu saja di atas meja. Tanpa berniat menutup benda empat belas inci tersebut, tangannya bergerak menarik secangkir kopi yang tadi dibuat. Aksa menikmatinya meskipun cairan berwarna gelap itu sudah tidak lagi hangat. Lama dia duduk lesehan dengan bersandar pada sofa dan cangkir di tangan, hingga suara deritan pintu mengusiknya.

"Laper nggak, Sa? Mau masak apa beli?"

Tama muncul dari balik kamar yang berada di dekat ruang tengah. Rambutnya sedikit berantakan dengan sarung melilit pinggang. Entah, semenjak pulang dan berada di rumah, Aksa sering sekali melihat kakaknya itu mengenakan sarung. Sebuah pertanyaan besar yang juga mengusiknya belakangan ini. Sama seperti Oliv, dia juga penasaran alasan Tama tiba-tiba kembali.

"Opor tadi, kan, masih. Kurang?"

Hari ini tepat tanggal satu bulan Syawal. Hari raya yang sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Namun, seperti beberapa tahun belakangan yang sudah dilalui, di rumah yang berpenghuni tiga orang ini tidak ada yang spesial. Hanya bertiga tanpa sanak saudara. Jangan tanya soal sepupu atau yang lain, kedua orangtuanya sama-sama anak tunggal. Kakek neneknya pun sudah berpulang. Jadi, mereka benar-benar hanya bertiga.

"Tadi ada bapak-bapak jual beras. Katanya nggak ada duit mau mudik." Tama menghampiri Aksa yang masih duduk di ruang tengah. Dia lantas mendudukkan tubuhnya di dekat sang adik.

"Apa hubungannya?"

"Hubungannya karena gue nggak ada duit, ya udah, gue kasih aja opor sama nasi. Sama tadi gue ambil stok mie punya Oliv. Tapi, lo jangan cepu. Mateng nanti gue."

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang