08. Yang Sudah Berlalu

72 9 1
                                    

"Adek, sini! Gandeng tangan Mama."

Lamunan Oliv terusik ketika sebuah suara terdengar. Ada seorang ibu yang tengah meraih jemari kecil anaknya. Bocah laki-laki yang dipanggil adek tersebut terlihat girang. Bibirnya terus menyunggingkan senyum dengan sebelah tangan membawa sekotak susu kemasan. Tanpa bisa dicegah, kedua sudut bibir Oliv turut tertarik. Mencipta sebuah senyum tipis yang tidak begitu terlihat. Angannya mendadak kembali pada beberapa tahun silam, waktu Mama masih berada di sisinya. Waktu di mana semua hal terasa jauh lebih mudah daripada sekarang.

"Oliv, pegang tangan Abang. Mama nggak bisa soalnya bawa belanjaan."

Rasanya sama seperti bertahun-tahun lalu ketika Mama menyuruhnya untuk menggandeng tangan Aksa. Berjalan beriringan menuju parkiran motor yang ada di area pasar. Oliv selalu suka ketika Mama mengajaknya berbelanja. Dia bisa meminta sang bunda membelikan sayur apa pun yang dia mau dan jajanan pasar. Semuanya terasa menyenangkan dan masih tersimpan rapi dalam salah satu sudut memorinya. Bertumpuk dengan banyak hal lain yang sayangnya tidak seindah itu. Seperti hukum alam soal pertemuan dan perpisahan yang saling berkaitan, Mama juga demikian. Dulu menimang, sekarang mengenang.

"Liv, sakit?"

Bayangan Mama yang sempat muncul, mendadak hilang seperti ditiup angin. Digantikan dengan wajah Deon yang kini berdiri di depannya. Oliv mundur satu langkah secara refleks, bersamaan dengan helaan napas pelan yang lolos dari celah bibirnya. Bola matanya bergerak naik turun, mengamati Deon yang secara aneh menatapnya tanpa berkedip. Beberapa detik kemudian, Oliv memalingkan wajah sembari tertawa pelan. Sangat pelan hingga Deon pun tidak mendengarnya.

"Liv?"

"Gue nggak apa-apa." Oliv mengibaskan sebelah tangannya. "Lo ngapain di sini?"

Kedua bahu Deon yang awalnya terlihat tegang kini meluruh. Tangannya mengusap dada sekilas. "Gue nyariin lo. Di kantor nggak ada."

"Udah jam pulang juga. Lagi males lama-lama di sana."

"Jadi, mau langsung balik ke rumah?"

Oliv mengedikkan bahu. "Nggak tahu."

"Kok?"

"Males ketemu Bang Tama."

Oliv masih kesal. Sampai hari ini dia tidak mengajak Tama bicara kecuali ditanya lebih dulu. Bukannya Oliv tidak mau mengerti kondisi kakaknya yang sekarang, tetapi apakah dia selamanya akan seperti ini? Perihal ijazah yang masih tertahan di kantor lama, selalu menjadi alasan sulitnya mendapat pekerjaan. Iya, Oliv paham. Namun, tidak selamanya dia akan begini, kan? Abangnya kelak akan menjadi seorang kepala keluarga. Tidak bisa mengandalkan adiknya terus-menerus.

"Kenapa?" Deon menyejajarkan tubuhnya di samping Oliv. Arah pandangnya mengikuti wanita itu yang tengah memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalan raya. "Ribut lagi?"

"Bukan apa-apa," ujar Oliv tanpa menoleh.

Dari tiga orang laki-laki yang berteman dekat dengannya, hanya Deon yang mengetahui lebih banyak tentang kehidupan Oliv. Itu pun berawal dari sebuah ketidaksengajaan. Jika Deon tidak melihat sang kakak yang tengah berulah tahun lalu, dia juga tidak akan bercerita. Untuk apa, kan? Semuanya tidak akan langsung selesai sekalipun Oliv meraung seperti orang gila.

"Daripada berdiri nggak jelas di depan kafe gini, gimana kalau sekalian ngopi di dalam?" tawar Deon. "Nanti baliknya gue antar."

Deon Giovanni itu kadang mulutnya pedas seperti cabai setan. Namun, hal tersebut tidak berlaku jika bersama atau menyangkut Oliv. Sikapnya lebih sering berbanding terbalik dibandingkan ketika ada Argi atau Adam. Hal yang diam-diam membuat Oliv selalu bersyukur karena memiliki laki-laki itu sebagai sahabat.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang