34. Sebuah Tanya

17 4 0
                                    

"Ngapain pulang?"

Setelah ditahan-tahan, akhirnya satu kalimat tanya yang terdengar ketus itu keluar juga. Meskipun sebenarnya Oliv tidak ingin kakaknya menjadi semakin buruk, tetapi mendadak pulang dan berperilaku baik seperti ini menjadi sebuah hal yang aneh. Tama tidak biasanya begini. Laki-laki itu hanya akan pulang ketika kehabisan uang. Meminjam pada sang adik dan pergi setelahnya. Namun, kalau diingat-ingat, Tama tidak lagi merecoki Oliv setelah pertengkarannya dengan Aksa malam itu.

"Emang lo sukanya kalau gue nggak di rumah? Gitu banget yang tanya." Tama menjawab sembari merapikan kembali meja makan.

Oliv masih terduduk dengan raut wajah datar. Sesekali manik matanya mengikuti pergerakan Tama yang masih mondar-mandir antara meja makan dan wastafel dapur. Dia membiarkan kakaknya membereskan semua ini sendiri. Tidak ada niatan sama sekali untuk membantu.

"Mau ke masjid nggak, Liv? Tarawih gitu."

Oliv tidak menjawab. Dia masih saja mematung dengan pandangan yang mulai kabur. Mendadak matanya terasa panas dan sesak oleh kaca tipis yang menyelimuti. Sekali kedip saja lapisan itu akan pecah dan membasahi pipi.

"Meski udah isya, tapi bisa nyusul, kan?"

Tama menyelesaikan mencuci piring terakhir, kemudian meletakkannya pada rak kecil yang ada di samping wastafel. Mengusapkan tangannya yang basah pada sarung, laki-laki itu kemudian berbalik. Hanya untuk mendapat sang adik sudah berurai air mata tanpa suara.

"Lah, lo kenapa?" Buru-buru Tama menghampiri Oliv yang masih duduk di kursi meja makan. "Lo diputusin Satria, ya? Tapi dia bilang cuma teman."

Laki-laki itu menarik kursi lain, lalu duduk berhadapan dengan Oliv.

"Ngapain pulang?"

Kalimat tanya itu diulang dengan suara yang lebih rendah. Oliv benar-benar tidak habis pikir dengan semua ini dan perlu penjelasan. Jangan-jangan Tama pulang dan bersikap baik seperti ini karena ada maunya? Uangnya habis dan dia perlu lebih banyak untuk foya-foya dengan pacarnya yang pernah diajak ke rumah.

"Ya, ini rumah gue juga. Masa nggak boleh balik?"

"Ngapain pulang?"

Satu helaan napas pelan keluar dari celah bibir Tama setelah pertanyaan terulang untuk yang ketiga. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya pada kursi, dengan tatapan mengarah pada sang adik yang masih menangis.

"Setelah semua yang lo lakukan, ngapain balik lagi?"

"Liv—"

"Mau pinjam uang lagi? Mau foya-foya lagi sama cewek lo itu?"

"Liv—"

"Apa? Alasan apa lagi yang akan lo buat? Susah cari kerja, tapi malah berbuat asusila sama cewek itu? Foya-foya, mabuk, apa lagi?"

"Oliviana!"

Tama berseru keras bersamaan dengan kepalan tangannya yang memukul meja. Dia kemudian berdiri dengan raut marah dan napas sedikit memburu. Pandangannya jatuh pada sang adik yang masih duduk di kursi.

"Gue tahu gue buruk, tapi apa salah kalau gue mau berubah?" tanya Tama dengan suara mulai meninggi. "Gue sadar kesalahan gue sejauh apa sama lo, Liv! Gue sadar pernah pinjam uang ke lo. Tapi semuanya udah gue balikin! Gue cuma berusaha buat balik kayak dulu lagi. Gue juga lagi usaha buat cari kerja meskipun tetep aja ditolak sana-sini. Apa gue masih salah?"

Mata Oliv terpejam, bersamaan dengan buliran bening yang kembali mengalir membasahi pipi. Niat Tama memang baik, tetapi kelakuannya yang pernah bertingkah terlalu jauh membuatnya ragu. Dia masih ingat jelas ketika malam itu Tama membawa pulang seorang perempuan dan bersenang-senang di rumah. Ditambah dengan pertengkarannya dengan Aksa beberapa minggu yang lalu dan masih melibatkan seorang perempuan pula.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang