24. Binar yang Lama Hilang

61 10 5
                                    

"Liv, masak, yuk!"

Oliv yang baru keluar dari kamar mandi disambut oleh Aksa di ambang pintu. Kening Oliv langsung dihiasi dengan kerutan samar ketika kakaknya itu mengajaknya untuk memasak. Ini hari Minggu dan Oliv ingin istirahat. Entah, badannya terasa tak enak setelah kemarin habis dua gelas es kopi di Kafe Abjad bersama Satria. Jadi, hari ini sebenarnya Oliv niatkan untuk tidak melakukan apa pun. Sebelum Senin datang dan mengharuskannya bertempur dengan pekerjaan.

"Masak apa? Lo aja, gue males."

Mengabaikan Aksa yang masih berdiri di ambang pintu, Oliv merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Meraih bantal, lantas memeluknya sembari memejamkan mata.

"Ya elah, Liv, belum ada jam sepuluh, lo udah balik tidur."

"Siapa yang tidur, sih?"

"Ya udah, makanya ayo masak!"

Kelopak mata Oliv kembali terbuka. Dia mengerjap beberapa kali sembari memandang nakas yang ada di samping ranjang. "Dia nggak balik?"

"Siapa?" tanya Aksa. Laki-laki itu berjalan menghampiri sang adik lalu mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.

"Kakak lo."

"Heh!" Aksa menepuk pelan betis Oliv. "Kakak lo juga."

"Nggak balik?" ulang Oliv.

"Nggak. Cuma beberapa hari lalu, pas lo belum pulang, Bang Tama ke rumah. Tapi setelah itu pergi lagi."

Oliv tidak menjawab. Dia masih berbaring sembari memeluk bantal. Helaan napas panjang keluar dari celah bibirnya. Akhir-akhir ini, rumahnya terasa lebih damai tanpa kehadiran sang kakak sulung. Tidak ada ribut-ribut lagi kecuali beberapa waktu lalu ketika Aksa mendapat sebuah bogeman. Ada rasa lega, tetapi muncul pula kosong pada saat bersamaan.

Jujur, Oliv tidak benar-benar membenci Tama. Bagaimanapun, dia adalah kakaknya. Tidak sedikit pengorbanan yang dilakukan oleh laki-laki itu untuknya dan Aksa. Namun, dia tidak suka dengan pelampiasan laki-laki itu selama beberapa tahun ini.

"Kenapa nanyain Bang Tama? Kangen?"

"Nggak."

Aksa terdengar menghela napas, lalu ikut merebahkan tubuh di ranjang sang adik. "Coba jujur sama gue, apa Bang Tama pernah kayak gitu sebelumnya?"

"Kayak gitu apaan?"

"Lo tahu, Liv. Gue lihat lo udah balik sama Adam waktu gue berantem sama dia beberapa waktu lalu."

Ah, soal wanita? Oliv memang sudah tahu lama, bahkan jauh sebelum Aksa kembali ke Jawa. Saat itu rasanya Oliv tersiksa. Rumah yang harusnya terasa hangat dan nyaman, berubah menjadi dingin seperti tidak berpenghuni. Tama dengan tidak tahu diri membawa wanita pulang untuk bermain-main. Mengotorinya dengan hal yang tidak seharusnya dilakukan.

"Males ngomongin dia."

"Lo sendiri yang mulai."

Sekali lagi, Oliv menghela napas panjang. Membicarakan soal Tama tidak akan pernah ada ujungnya jika laki-laki itu memang memilih jalan yang demikian. Hanya lelah yang didapat, sebab sang kakak tidak lagi kembali untuk merangkul kedua adiknya.

"Lo sakit, ya?"

Oliv mengalihkan pandang pada Aksa ketika laki-laki itu menyentuh betisnya yang tidak terbalut kain. Dia hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut. "Apaan? Nggak."

"Kok, anget gini?"

"Lo pikir gue mayat yang badannya dingin?"

Aksa berdecak, lalu bangkit dari posisinya. "Ngopi lagi, ya, lo kemarin?"

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang