23. The Feeling

53 8 5
                                    

Juli masih mematung di depan cermin besar di kamarnya. Menilik lagi penampilan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mencari-cari bagian mana yang kira-kira masih kurang. Jangan sampai penampilannya norak, meskipun orang asing pun tidak akan menilai demikian ketika melihat wanita bernama Juliana Handoko itu. Oh ayolah, satu kantor juga tahu jika Juli sangat memperhatikan apa yang dikenakan. Wanita itu selalu terlihat elegan dengan pilihan warna dan model pakaian yang membalut tubuhnya.

"Pake kaus aja kali, ya. Ngapain kemeja segala? Mengundang kegeeran Adam."

Setelah sibuk mematut diri di depan cermin dengan kemeja berwarna pastel, Juli akhirnya memutuskan untuk ganti. Ini hanya ajakan random Adam, bukan sesuatu yang berlebihan. Meskipun dalam hati dia bersorak gembira karena bisa jalan berdua dengan laki-laki itu. Ini juga bukan acara formal kantor, jadi rasanya tidak perlu terlihat seperti di tempat kerja.

"Oke, gini aja."

Juli memilih kaus pendek putih, dibalut cardigan berwarna khaki. Rambut pendeknya dibiarkan tergerai menyapu bahu. Tidak lupa sedikit polesan lipcream pada bibir, lalu selesai. Kedua sudut bibir Juli tidak bisa tidak tertarik ketika menilik penampilan akhirnya. Tidak berlebihan, tetapi tidak norak. Semoga saja, Adam tidak berkicau yang aneh-aneh.

Setelah selesai, Juli bergegas keluar kamar, lengkap dengan tas selempang kecil tersampir di sebelah bahu. Adam tadi sempat mengirim pesan jika akan menjemput sekitar jam tujuh. Tidak ingin membiarkan laki-laki itu yang menunggu, Juli lebih dulu bersiap di kursi teras rumah. Dia duduk sambil sesekali mengalihkan atensi pada suara motor yang melewati jalan depan rumah. Barangkali itu Adam yang sudah sampai. Namun, hingga belasan menit berlalu, batang hidung laki-laki itu belum juga muncul.

Juli mulai gusar. Padahal ini belum ada satu jam atau lebih. Pasalnya, Adam bukan orang yang sering ngaret. Presensinya di kantor saja hampir tidak pernah terlambat, kecuali ada perlu yang sangat mendesak—yang tentu saja disertai izin. Kekhawatiran Juli mungkin akan semakin menjadi jika ponselnya tidak bergetar. Ada satu pesan dari Adam yang perlahan membuatnya lega. Namun, itu hanya sesaat karena setelah pesannya dibuka, rasanya Juli ingin menimpuk laki-laki itu dengan pot bunga.

Adam
Mbak Jul, maaf gue agak telat. Lagi ada urusan bentar sama Atun.
Tapi tenang, begitu kelar langsung cussss
Oke, see you 😻

Oh, please! Bisa tidak, sih, Adam tidak jujur untuk urusan ini? Bahkan dia yang mengajak Juli untuk hangout malam ini, tetapi dia juga yang mematahkan segala ekspektasi. Oh, atau Juli yang terlalu naif? Padahal dia tahu jika Atun atau Oliv adalah sahabat dekat Adam yang tentu saja menjadi prioritas. Siapa dirinya, kan? Di kantor memang posisinya lebih tinggi dari Adam, tetapi di luar semua itu tidak berarti. Mereka hanya teman biasa tanpa embel-embel jabatan.

Pikiran Juli sudah telanjur semrawut. Bayang-bayang Adam yang berduaan dengan Oliv lebih mendominasi angannya saat ini. Bahkan ketika sebuah motor berhenti di depan gerbang rumahnya, Juli belum juga lega. Adam ada di sana, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Rasanya Juli enggan, tetapi bukankah awalnya dia yang bersemangat? Ah, Juli lupa. Ini hanya ajakan makan atau entah apa yang dilontarkan teman. Dia saja yang terlalu geer jika ini adalah kencan.

Gila! Kencan dari mana?

"Mbak Jul!"

Juli lupa jika suara Adam itu mirip sound system kondangan. Menggelegar hingga membuat dada bergetar. Sial memang!

"Yuk, cusss! Udah siap, kan?"

Juli berusaha untuk mengenyahkan pikiran-pikiran buruk soal Adam dan Oliv dari kepala. Bagaimanapun, keduanya hanya sebatas sahabat. Tidak sepantasnya Juli berpikir sesuatu yang tidak baik, bahkan ketika dia dan Adam juga hanya sebatas teman. Kok, terdengar miris, ya? Kesannya Juli cemburuan sekali padahal tidak ada ikatan apa pun antara Adam dan dirinya.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang