18. It's A Beginning

53 8 0
                                    

"Mas, aku cuti beberapa hari. Aku ke Jakarta, ya?"

Satria yang sedang minum kopi tersedak ketika mendengar Qiana berbicara di seberang telepon. Adik perempuan satu-satunya itu membuatnya terkejut dengan niat ke Jakarta yang tiba-tiba. Bukan berarti Satria tidak rindu, tetapi di mana adiknya akan tinggal selama di ibukota? Tidak mungkin dia membawanya ke indekos. Bisa-bisa Satria ditendang oleh pemiliknya karena membawa wanita asing, berhijab pula. Apalagi status di kartu tanda penduduknya masih belum menikah.

"Kapan cuti? Serius mau ke sini?"

"Kedengarannya nggak seneng mau aku samperin. Nggak kangen lagi, ya?" Suara Qiana berubah agak kesal.

"Nggak gitu, Qi. Nanti tidur di mana kalau kamu ke sini? Nggak mungkin di kos mas."

"Ya ampun, aku nggak bilang kalau mau numpang di kos Mas Satria."

"Terus?"

Satria sedikit terbatuk, jemarinya terulur untuk mengambil tisu yang tersedia di meja kantin kantor. Diusapnya ujung bibir dengan benda tersebut untuk membersihkan sisa-sisa kopi.

"Aku ada teman kuliah yang kerja di Jakarta. Jadi, bisa nginep di sana selama aku cuti."

"Cewek, kan?"

"Ya ampun, Mas! Ya, cewek." Qiana terdengar makin kesal, hal yang justru membuat Satria tersenyum tipis. "Pokoknya, aku mau ke sana. Sekalian nengok Mas. Takutnya berubah kurus karena nggak aku masakin berbulan-bulan."

Senyum Satria terlihat semakin lebar. "Perhatian banget kamu."

"Terserah, deh."

"Tapi kamu udah izin ayah sama ibu, kan?"

"Udah, Mas tenang aja."

"Ya udah, kalau gitu sampai ketemu di Jakarta. Jangan lupa nanti kabarin, ya. Mas sempatkan jemput di stasiun," kata Satria. "Eh, naik kereta, kan?"

"Kalau Mas mau kasih subsidi, dengan senang hati aku naik pesawat."

"Kereta aja, menikmati perjalanan. Ya udah, Mas tutup dulu, ya," pungkas Satria tanpa menanggapi ucapan Qiana. Setelah mengucapkan salam, ibu jarinya lantas menekan ikon berwarna merah di layar ponsel. Membuat sambungan telepon terputus seketika.

"Wah, lo diam-diam udah ada gebetan, ya? Gue jadi kesel karena lo belakangan deketin Atun."

Sebuah suara yang terdengar dari belakang membuat Satria kaget bukan main. Kantin kantor memang tidak sepi, tetapi tidak penuh dengan orang yang berlalu-lalang. Masih ada beberapa kursi yang tersisa di sana. Namun, tetap saja dia terkejut karena suara seseorang yang dia kenal tiba-tiba terdengar.

"Jangan kasih harapan ke Atun kalau gitu, Bro."

Satria mengerutkan kening, bingung dengan ucapan Adam yang kini sudah duduk di hadapannya. Tidak ada angin ataupun hujan, laki-laki itu tiba-tiba datang, mengejutkan, lalu berucap asal seperti sekarang.

"Lo ada cewek, kan? Barusan telepon alus bener ngomongnya."

Astaga! Satria mulai paham arah bicara Adam. Jangan bilang laki-laki itu mencurigai Qiana yang barusan telepon?

"Maksud kamu adekku?"

"Ya, mana tahu? Lo bisa aja ngaku adek, tapi ternyata kakak adek zone."

Dua hari lalu, Adam mendapatinya di depan minimarket bersama Oliv, menuduhnya pacaran, lalu memaksanya mengantar wanita itu pulang. Ya, meskipun tanpa titah Adam pun, Satria akan dengan senang hati untuk mengantarnya, sih. Lalu sekarang, Adam menuduh Satria tengah mempermainkan Oliv karena percakapannya lewat telepon dengan Qiana barusan.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang