Chapter 19

139 21 0
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan dalam challenge ODOC (One Day One Chapter) oleh TheWWG selama tiga puluh hari.

Mungkin akan banyak typo dan anu-anu yang lain karena tidak sempat di edit. Mohon di maklumi. Terimakasih
\( ̄▽ ̄)/


***

Suara mobil Mama terdegar dari halaman depan. Ponselku sudah menunjukkan pukul 22.43 WIB, hampir jam sebelas malam. Mereka pulang agak larut kali ini.

Saat mendengar pintu rumah terbuka, aku langsung bergegas turun untuk menghampiri mereka.

Aku hampir membuka pintu kamar saat suara Sabrina menghentikanku.

"Kenapa Mama nggak ajak kak Alice tadi?!" ucapnya disertai suara batingan tas ke sofa.

Ada apa ini?

Aku sedikit membuka pintu hingga menunjukkan sedikit celah untukku mengintip.

"Kenapa harus diajak?" balas Mama dengan nada tidak bersalah, "Itu acara Mama. Hak Mama mau mengajak siapa."

Acara?

Aku tidak tahu kalau Mama punya acara hari ini.

"Tapi Kak Alice juga anak Mama! Mama harusnya membawa kak Alice juga untuk diperkenalkan sama keluarga Paman Edward!"

Oh masalah ini. Paman Edward dan Mama akhirnya mencapai tahap ini. Meskipun, aku merasa agak sedih karena Mama tidak membawaku di moment berharganya, tapi tak mengapa. Asalkan Mama bahagia, Mama mungkin tidak akan nyaman kalau harus membawaku juga. Jadi, aku baik-baik saja.

"Sabrina, Mama benar-benar tidak bisa bawa kakakmu. Kau kan tahu kalau kakakmu itu tidak normal! Mama nggak mau kalau kakakmu menghancurkan acara istimewa Mama!"

Deg

"Kak Alice nggak gitu!"

"Alice sudah menghancurkan hidup Mama sekali. Mama nggak mau kalau kejadian yang sama terulang lagi!" tegas Mama bersikukuh. "Gimana kalau Alice melantur juga sama keluarga Paman Edward? Gimana kalau dia juga soal benang kematian? Bisa-bisa keluarga Edward mikir Mama punya anak yang sudah tidak waras!"

"Mama!" teriakan Sabrina memecah sunyinya malam.

Sabrina tiba-tiba membungkam mulutnya, mungkin dia takut membangunkanku dan mendengar semua ini.

Sayangnya aku memang sudah mendengarnya.

Sabrina berlari ke dalam kamar dan membanting pintu di depan wajah Mama.

Aku menutup celah pintu dengan perlahan. Setelah pintu ditutup, aku langsung merosot terduduk di lantai. Aku bisa meresakan rasa asin dari air mata yang masuk ke mulutku.

Hatiku sakit sekali. Amat sangat sakit.

Aku tidak tahu kenapa Tuhan bisa begitu kejam padaku. Kenapa Tuhan membiarkan aku mendengarkan kata-kata yang mengakitkan ini.

Apa salahku?

Bagaimana bisa Mama mengatakan hal sekejam ini? Kenapa Mama terus menganggap bahwa aku yang menghancurkan hidupnya?

Aku tidak sengaja melakukannya. Aku tidak tahu kalau menghalangi kematian Papa akan membawa dampak lain. Harga yang harus kubayar karena mencoba mencengah kematiann Papa adalah meninggalnya kakak laki-lakiku.

Aku selalu hidup dalam penyesalan selama ini. Aku juga tidak pernah memaafkan diriku sendiri. Tapi kenapa? Apakah ini semua masih belum cukup?

Sampai kapan Mama akan terus membenciku? Kalau aku pergi, apakah kebencian Mama akan berkurang?

Thread Of Destiny  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang