Warning:
Cerita ini diikutsertakan dalam challenge ODOC (One Day One Chapter) oleh TheWWG selama tiga puluh hari.
Mungkin akan banyak typo dan anu-anu yang lain karena tidak sempat di edit. Mohon di maklumi. Terimakasih
\( ̄▽ ̄)/***
Apa kalian ingat aku pernah mengatakan kalau aku punya kakak laki-laki?
Namanya Alex, dia lebih tua dua dariku dan tiga tahun lebih tua dari Sabrina. Kakak laki-lakiku berusia tiga belas tahun waktu itu.
Saat itu aku dan Sabrina masih duduk di bangku sekolah dasar, sedangkan Alex sudah masuk sekolah menengah pertama.
Seperti pagi biasanya, Aku, Sabrina, dan Alex, sedang sarapan di meja makan. Mama sibuk menyiapkan bekal untuk kami bertiga, sedangkan Papa selalu terlambat sarapan seperti biasanya.
"Bekalnya sudah Mama masukkan. Jangan lupa dimakan nanti!" ucap Mama dengan nada memerintah. Mama memasukkan masing-masing bekal ke dalam tasku, Sabrina, dan Alex.
Aku mengangkat tangan sejajar dengan alis membuat posisi hormat, "Siap bos!" jawabku dengan nada yang kekanak-kanakan.
Mama tertawa.
"Alex gak mau bawa bekal, Ma!" tuntut Alex tiba-tiba.
Sambil berdecak pinggang, Mama memelototinya, "Kenapa? Ada yang bilang kamu anak mami lagi?"
Aku mengeluarkan pufft menahan tawa. Alex sering di ledek di sekolah. Karena masih membawa bekal, teman-temannya di sekolah memberi dia nama julukan anak mami.
Katanya, hanya anak-anak manja saja yang membawa bekal ke sekolah. Membawa bekal bisa menurunkan harga dirinya sebagai anak laki-laki.
Padahal menurutku itu tidak salah sama sekali. Siapa sih yang bukan anak mami? Kalau bukan anak mami, jadi mereka anak siapa? Anak pohon pisang?
Menurutku, anak-anak yang berlagak sok dewasa, itu baru kekanak-kanakan. Seperti Alex sekarang.
"Pokoknya tidak mau! Alex sudah besar, Ma. Alex bukan anak-anak lagi."
"Kau memang masih anak-anak!" celetuk Mama.
"Pokoknya tidak mau!"
Sambil mengambil mengunyah ayam goreng buatan Mama, aku mengadu. "Kak Alex naksir anak perempuan di kelasnya, Ma," aku mengadu seenaknya.
Alex memelototiku sambil menaikan tinjunya.
Seperti adik jail pada umumnya, aku tidak takut ancamannya sama sekali. Aku memeletkan lidah dan terus memanas-manasi Mama, "Makanya dia nggak mau bawa bekal, takut dikira anak manja. Nanti yang Ada cewenya ilfeel."
Aku dan Sabrina cekikikan karena berhasil membuat Alex kena semprot Mama.
Saat suasana hangat itu masih berlanjut, Papa tiba-tiba muncul di meja makan.
Papa menggenakan celana Relaxed-legged dan kemeja putih andalannya. Tapi bukan itu yang menjadi perhatianku saat ini.
Benang merah Papa.
Benang merahnya menghitam.
"Kak Alice kenapa?" tanya Sabrina.
Tanpa memedulikan pertanyaan Sabrina. Aku berdiri dari kursi dan berjalan ke arah Papa.
"Kau kenapa? Kau nangis?" kali ini Papa yang bertanya.
Aku menyentuh air yang meleleh di pipiku. Aku bahkan tidak sadar kalau aku sudah menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thread Of Destiny
FantasyAlice, gadis 17 tahun yang dapat melihat benang takdir, mendadak mendapat undangan ke Rothenburg-sekolah para Giftlent-istilah untuk manusia yang terlahir dengan talenta/kekuatan khusus. Alice hanya ingin kehidupan yang normal, tetapi Rothenburg je...