Chapter 22

146 21 0
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan dalam challenge ODOC (One Day One Chapter) oleh TheWWG selama tiga puluh hari.

Mungkin akan banyak typo dan anu-anu yang lain karena tidak sempat di edit. Mohon di maklumi. Terimakasih
\( ̄▽ ̄)/

***

Aku dan Eras terpisah dengan yang lainnya.

Dipendaratan kami yang terakhir, Erastus langsung melepaskan pelukannya padadaku dan merosot ke tanah. Napas laki-laki itu terputus-putus dan matanya tak lagi fokus. Darah masih bercucuran dari punggung tangannya.

Saat ini masih pagi, tapi kening Eras sudah mengeluarkan butir-butiran keringat dingin. Teleportasi yang terakhir benar-benar menguras habis energinya.

Aku merasa panik melihat keadaan Eras seperti itu. Kan tidak lucu kalau dia meninggal sekarang.

"Aku butuh istirahat," ucapnya lemah. Dia menatapku dengan mata menyipit dan memperingatkan, "Jangan mengganggu apalagi membangunkanku."

Saat mengatakan itu, aku tahu dia benar-benar serius. Eras perlu memulihkan dirinya sendiri.

Aku menatap tangannya yang terluka. Lukanya perlu dibalut, tapi aku takut dia akan terganggu nantinya. Aku akan membiarkan dia terlelap sebentar sebelum membalut lukanya.

Untungnya, kali ini Eras dengan tepat mendaratkan kami di sebelah danau. Aku juga perlu menenangkan diri.

Aku berjalan mendekati air untuk menyegarkan diri. Sambil membasuh wajah, aku menatap diriku dari pantualan riak air. Kulitku lebih kecokelatan, dan mataku juga lebih hidup dari sebelumnya. Aku tidak tahu di mana tepatnya perubahan itu, tapi aku tahu ada sesuatu yang berubah dari diriku.

Beberapa bulan yang lalu, aku masih seorang gadis yang introvert, rendah diri, dan penakut. Satu-satunya teman yang kupunya saat itu hanya Kinan.

Tapi sekarang, Aku menjadi gadis yang lebih berani. Aku bahkan bisa berbaur dengan beberapa orang sekarang. Mungkin itu karena aku tahu, ternyata selama ini aku tidak dilahirkan aneh sendiri. Aku menjadi lebih berani.

Saat menunduk, aku baru menemukan bercak darah di bajuku, bagian pinggang. Darahnya tercetak dengan bentuk telapak tangan. Aku tahu itu adalah darah Eras.

Sial, aku hampir lupa. Tangan Eras masih terluka!

Aku buru-buru bangun dan kembali ke tempat kami mendarat tadi.

Erastus masih memertahankan posisinya yang tadi. Napasnya agak lemah, tapi sedikit lebih teratur dari pada yang sebelumnya. Lelaki itu terlelap.

Aku merobek ujung bajuku dan mendekatinya. Dengan perlahan, aku meraih tangan Eras dan meletakkannya di atas kakiku. Aku berusaha membungkus tangannya tanpa membuat gerakan yang berlebih. Butuh waktu yang cukup lama untuk melakukannya. Setelah semuanya selesai barulah aku menghela napas lega.

Sejujurnya, aku merasa sangat berterima kasih padanya. Bagaimana pun, dia sudah berkali-kali menyelamatkan aku. Mungkin jika Eras tidak membawaku berteleportasi bersamanya, energi yang dia perlukan untuk berteleport tidak akan terlalu besar.

Melihat laki-laki itu tidak akan bangun dalam waktu yang dekat, aku juga memutuskan untuk tidur sebentar.

[.]

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur sebelum terbangun. Aku rasa matahari seharusnya sudah tinggi sekarang, hanya saja karena hutan di Bloodforest sangat lebat, matahari pun tak bisa menembusnya.

Thread Of Destiny  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang