Chapter 13

166 37 1
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan dalam challenge ODOC (One Day One Chapter) oleh TheWWG selama tiga puluh hari.

Mungkin akan banyak typo dan anu-anu yang lain karena tidak sempat di edit. Mohon di maklumi. Terimakasih
\( ̄▽ ̄)/

***

Aku, Simon, Morlan dan Melanie sedang berada di perpustakaan Rothenburg sekarang.

Simon dan Melanie duduk di depanku, mereka pura-pura sibuk dengan dengan buku. Sedangkan, laki-laki kekar bernama Morlan tadi dibiarkan duduk di sampingku.

Lelaki itu masih belum menyerah untuk menjadikanku bagian dari timnya. Padahal aku sudah jelas-jelas menolak ajakannya.

"Anak baru seharusnya nurut," katanya padaku. "Lagi pula, tidak ada susahnya mengikuti pertandingan itu. Paling-paling nanti hanya patah tulang atau lecet-lecet. Tidak akan mengancam nyawa."

Taukah dia, kalau bujukannya bukan membuat aku jadi tergoda, tapi malah membuat tekadku semakin bulat untuk tidak mengikutinya.

Plak

Akhirnya buku yang tadi hanya digunakan Melanie sebagai tameng untuk tidak terlibat percakapan ini, melayang juga ke kepala Morlan.

"Sudah kubilang EQ-nya rendah! Kau seharusnya tidak memercayakan perekrutan tim padanya!" Melanie memprotes pada Simon.

Pletakk

"Au!" ringis Melanie

Sebuah jitakan kuat mendarat di atas jidat melanie. Jidatnya memerah seketika.

Bisa kubayangkan seberapa kuat kekuatan yang disalurkan Morlan pada jarinya tadi. Tidak ada kasih sayang sama sekali. Aku jadi ragu dengan perkataan Simon.

Wajah Melanie langsung memerah karena marah. Di atas kepalanya bahkan sudah berkibar bendera perang.

"Morlan sialan!"

Simon yang telah berpengalaman sudah lebih dulu menyingkirkan bukunya dari atas meja.

Melanie yang kesetanan langsung menaiki meja untuk mengejar Morlan yang berada di sisi berlawanan darinya. Tapak sepatunya langsung meninggalkan jejak di atas meja.

Morlan dengan gesit menghindar dari Melanie. Tapi karena Melanie hebat dalam teleportasi, dia berhasil menyusul Morlan. Bogem mentah hampir mendarat di wajah Morlan, tapi dalam persekian detik Morlan tiba-tiba menghilang.

Aku sudah seperti menonton film laga aksi di tv-tv, bedanya kalau yang ini disiarkan secara langsung dan nyata.

Untungnya aku sudah menyiapkan hati dan mental sebelum ke sini, kalau tidak bisa-bisa aku yang di kira gila.

"Mereka mulai lagi," Simon berucap sambil menghela napas panjang.

Aku melirik padanya.

Simon meletakkan bukunya di atas meja dan kembali duduk. "Cuekin saja, nanti kalau mereka sudah capek pasti balik sendiri."

Karena merasa sedikit awkward, aku hanya mengangguk padanya sebagai balasan.

"Soal pertandingan itu, aku harap kau bisa ikut. Jika kelas kita tetap kekurangan peserta, kelas Lowlent otomatis akan dieliminasi dan dinyalakan gugur. Kalah sebelum bertanding itu lebih memalukan dibanding kalah setelah bertanding."

Saat ini, aku akhirnya sadar apa yang membuat Kinan menyukai Simon. Walaupun dia memiliki wajah baby face tapi dia memiliki jiwa seorang pemimpin yang baik.

Thread Of Destiny  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang